Tadi sore, seorang adik kelas di organisasi kampus bertanya perihal tulisan fiksi. Ia ingin menulis fiksi tapi tebentur dengan pandangan, ada ustad yang mengatakan bahwa menulis fiksi itu haram karena sama saja berdusta.
Saya langsung tersenyum mendengarnya. Menduga siapa ustad yang dimaksud dan benar dugaan saya. Saya langsung mengangguk sendiri padahal kami sedang ngobrol via chat whatsapp. Ustad tersebut punya dalil dan mengacu kepada ulama yang memang mengharamkan. Saya berhusnuzhan bahwa beliau-beliau adalah orang-orang yang memang sangat menjaga dan tidak ingin terjerumus kepada perkara-perkara sifatnya masih banyak perbedaan pendapat di dalamnya.
Saya pun menjawab dengan kapasitas ilmu saya yang masih sangat dangkal ini. Ada beberapa kalimat tambahan yang tadi tidak saya sampaikan kepadanya tapi saya tuliskan di sini sebagai informasi saja.
Terkait masalah haram-tidaknya, sama seperti halnya gambar, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Ada yang benar-benar mengharamkan, banyak juga yang membolehkan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti, masalah melalaikan atau tidaknya dari kewajiban (kalau melalaikan, ini sih berarti bukan tulisan fiksi saja yang haram, tetapi ngobrol, sosial media pun bisa haram jatuhnya jika melalaikan.), terkait manfaat-mudharatnya, dan atau asal ceritanya masih realistis dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari, ada hubungan sebab-akibat dan sebagainya, dan isinya tidak melanggar koridor-koridor syar’i, maka ini diperbolehkan.
“Selain itu, saya akan menjawabnya dengan tidak mengesampingkan pendekatan konsep, sosial, dan budaya, ya.” lanjut saya.
“Ketika saya belajar di mata kuliah sastra, cerpen, novel, dan tulisan fiksi lainnya termasuk karya sastra. Setiap karya sastra tidak lahir secara serta-merta.Seringkali ia lahir justru dari kegundahan dan permasalahan yang ada di masyarakat atau di sekitar diri si penulis. Se-fiksi apapun novel/cerpen, adalah representasi kehidupan sehari-hari yang dijumpai penulis, baik itu kehidupan penulis pribadi maupun kehidupan orang lain yang ia tuliskan. Maka, ketika mengkaji sebuah novel/cerpen, kami-kami tidak melepaskan kajiannya dari unsur politik, sosial, dan budaya yang terjadi ketika karya tersebut lahir. Jadi sebenarnya, ketika suatu cerita lahir, ia lahir seiring ‘ada sesuatu’ yang memang benar-benar terjadi saat itu. Hanya saja, ada hal-hal tambahan, perbedaan atau barangkali pengurangan dalam penulisannya sehingga tidak dimasukkan semua ke dalam ceritanya.
Masalah anggapan bahwa tulisan fiksi itu dusta, sebenarnya buku-buku sejarah yang dianggap benar itu, yang beredar itu, banyak loh yang isinya justru pembohongan publik, banyak sekali distorsi-distorsi, pembohongan dalam buku sejarah yang kita baca. Bedanya, kita tau kalau tulisan fiksi itu tidak nyata meskipun terkandung kebenaran di dalamnya, sementara ketika membaca buku sejarah, yang kita tahu itu adalah sebuah kebenaran meskipun yang disajikan mengandung kebohongan. Mengutip kata-katanya Mbak Maya Lestari Gf, “sejarah seringkali menyajikan kebohongan sebagai sebuah kebenaran, sementara fiksi menyajikan kebenaran dalam kebohongannya.
Bukan maksud meremehkan buku-buku sejarah. Bahkan saya termasuk orang yang menyukai membaca buku-buku sejarah, hanya saja saya ingin tekankan di sini adalah bahwa karya fiksi adalah representasi kehidupan sehari yang seringkali mengandung kebenaran di dalamnya. Maka tidak heran, ketika kalian sedang membaca novel atau cerpen, kita seperti sedang membaca kehidupan itu sendiri. Gak heran juga kita terkadang bergumam, “ada banget nih orang kayak gini di dunia ini,” “Ini ceritanya kayak fenomena yang terjadi akhir-akhir ini ya,” “Ini ceritanya gambarin keadaan pas tahun itu banget, ya.”
Masih di kelas mata kuliah sastra, ada hal-hal yang menurut saya kenapa harus banget ada umat muslim yang fokus terjun ke sini. Adalah banyaknya buku-buku atau tulisan-tulisan yang di dalamnya menyebarkan isu-isu liberal, sekuler, komunis (Saya mikir gini ketika di kelas, novel-novel yang menjadi rujukan kami sebagian besarnya adalah novel-novel dari orang-orang kelompok tersebut. Saat itu saya benar-benar nangis, gimana kalau generasi-generasi saya atau generasi setelah saya membaca buku ini. Saya khawatir mereka akan berpikir, “kok agama gue begini sih. Gak toleran banget.” “Apa-apaan nih Islam, aturannya gak memerdekakan wanita banget.”) Saat itu bahkan sampai sekarang, saya mengkhawatirkan hal ini. Betapa aktivitas menulis orang-orang mereka sangat kuat dan didukung dengan dukungan yang massif. Dan lantas bagaimana jika umat muslimnya sendiri justru bungkam dan tidak mau melawannya sementara di lain sisi kita juga tidak bisa menahan peredarannya. Senjata dilawan dengan senjata. Tulisan dilawan dengan tulisan juga! Begitulah seni berperang. Dan saat ini bukankan kita sedang berada pada sebuah peperangan halus namun dampaknya luar biasa? Ya, perang pemikiran.
Kalau kita menulis dan isinya tidak mengandung hal-hal mudharat, tidak mengajak pembaca untuk jadi melakukan hal buruk dan bahkan dengan membaca tulisan kita mereka justru menjadi tercerahkan, termotivasi, terinspirasi untuk melakukan amal-amal kebaikan, maka menulislah dan jangan mundur apalagi berhenti. Karena mundur atau berhentinya kita, hanya akan menyuburkan lahan-lahan pemikiran orang-orang yang berniat memadamkan cahaya Allah melalui tulisan mereka.
Semangat menulis dan semangat mengejar halal!
#menulisfiksi #menulis #sastra #fiksi #sejarah
Komentar
Posting Komentar