“Apa ini?” Kata Umar sambil
menepuk perut seorang buncit. Puk puk puk...
“Ini karunia dari Allah?” Jawab
si buncit dengan PD-nya.
“Ini justru azab dari Allah!" Sergah Umar.
Umar berseru, “Wahai manusia! Hindari perut yang besar karena membuat
kalian malas melaksanakan shalat, merusak organ tubuh, menimbulkan banyak
penyakit. Makanlah kalian secukupnya agar kalian semangat melaksanakan shalat,
terhindar dari sifat boros dan lebih giat beribadah kepada Allah.”
Pada kesempatan yang lain Umar keheranan setengah anyel. “Kenapa orang itu
berjalan seperti itu?” tanya Umar ketika melihat seseorang yang berpenampilan
lusuh dan klemar-klemer. “Tak pantas seorang mukmin berjalan lambat dan
berpenampilan kumuh.” Sikap umar yang blak-blakan memang tidak biasa membiarkan
sesuatu yang dirasanya salah berlalu begitu saja darinya. “Hei,” tegur Umar, “engkau
merusak Agama Islam dengan penampilanmu itu. Tegaklah saat berjalan dan
tampakkan kemuliaan Islam!”
Umar melanjutkan, “keliru orang yang menganggap zuhud sebagai kelemahan dan
ahli ibadah tampak lemas dan lunglai. Jika ia bicara, suaranya tak terdengar. Dan
jika berjalan, ia membungkukkan badannya. Jika ia berdiri shalat, kepalanya
lebih rendah dari pundaknya. Tidakkah mereka khawatir tergolong orang riya’,
berlebihan dan sok alim?”
Muslim semestinya sedap dipandang dan tampak bersemangat. Cekatan, yang jika ia berjalan seakan dirinya sedang menuruni bukit. Bukan klemar-klemer dan ngantukan agar tertuduh sebagai ahli tahajud yang menghabiskan malam dengan sedikit tidur. Benarlah kalimat para bijak, ojo ingah-ingih, jewiwak-jewiwik, ibas-ibis neng pojokan; artinya, jangan menunjukkan kelemahan di hadapan khalayak
Sumber: fikihsirah.review
Kata Kunci: Perut Besar, Sok Alim, Zaman Umar Bin Khattab, Siroh, Fikih Siroh
Komentar
Posting Komentar