Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Ke mana Kita?

Beberapa waktu lalu, saya kerap diminta untuk menjadi juri pada lomba penulisan karya ilmiah mahasiswa. Ada beberapa catatan yang saya dapatkan yang merupakan sebuah ironi bagi saya sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Apa pasal? Pasalnya adalah, dari essay sebanyak itu, tidak satupun saya temukan tulisan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari beberapa kali penjurian yang saya lakukan di beberapa lomba, tidak satupun saya temukan tulisan mereka. Saya barangkali bisa menabah-nabahkan hati dengan pernyataan bahwa ketertarikan mereka adalah dalam penulisan sastra, tetapi kenyataannya tidak juga. Beberapa memang ya, sudah menelurkan tulisan sastra mereka, tetapi itupun tidak sampai 5% -nya dari yang saya lihat di angkatan saya. Pula, sebagai mahasiswa, ditambah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, menurut saya kemampuan menulis essay seminimalnya adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh mahasiswa, sebab mahasiswa tidak bisa lepas dari menu...

Ramadhan adalah Segala Hal Tentangmu

Apa kabar, Bang? Barangkali bagiku rindu adalah seperti sarapan pagi yang setiap hari harus dilakukan. Rasa rindu itu pula yang akhirnya kujelmakan dalam harap-harap penuh kepadaNya. Doa bagiku adalah semacam salam rindu yang ku titipkan kepada Rabb kita. Sampaikah, Bang? Apa kabar, Bang? Ini ramadhan ke sekian puluh yang ku lalui, dan setiap melalui ramadhan aku merindukan topik pembahasan ramadhan kita tentang muslimin yang melalui ramadhan di bumi para mujahid. Hari ini, Bang.

Semoga untuk Pembawa Kejayaan

Rabb kami, Jadikan anak didik kami menjadi putra-putri kebaikan yang mencintai ilmu lagi senang mengamalkannya. Atau menjadi orang yang mencintai orang-orang berilmu dan senang membersamainya. Rabb kami, Bentuklah anak-anak didik kami menjadi anak-anak yang mengerti bahwa membuat Engkau ridha adalah lebih permata daripada sekedar nilai bagus di atas selembar kertas. anak-anak yang mengerti bahwa bahwa mereka dilahirkan untuk sesuatu yang lebih menyejarah dibandingkan sekedar tepukan meriah, jauh lebih berharga dari sekedar bisa menjawab soal-soal dalam ujian.

Bapak dan Guru Oemar Bakri

Pagi tadi dua puluh lima menit sebelum berangkat kuliah, Bapak sedikit bercerita tentang guru Oemar Bakri yang seolah nyata itu bagi Bapak. Sambil menyiasati lemari pakaiannya yang bermasalah di depan rumah. Bapak bercerita benar-benar seperti guru Oemar Bakri adalah seorang pahlawan yang dikenang, layaknya Bapak menceritakan Natsir, Hamka dan tokoh nyata lainnya. “Kayak guru Oemar Bakri. Jujur. Bener.” Aku tersenyum saja sambil memakai sepatu tali yang masih nyaman ku gunakan. “Oemar Bakri kan cuma tokoh fiktif, Pak.” jawabku sekenanya.

Selarik Nasihat

"Semoga Allah memaafkan saya ya," saya tertegun membacanya. Membaca sebuah pesan WhatsApp dari seseorang yang saya ingin mewawancarainya sebab siapapun tau tentang sepak terjangnya mendirikan sebuah komunitas yang bergerak dalam manfaatnya untuk anak-anak disabilitas.Saya jadi teringat perkataan Ash Shidiq Abu Bakar ketika ada yang memujinya, "Ya Allah, jadikan aku lebih baik dari perkataan mereka dan ampuni aku lantaran ketidaktahuan mereka tentang diriku," Lama sekali saya terdiam dan berulangkali membacanya. Betapa mengesankan sikap rendah hati. Orang-orang seperti ini yang menyadari betul bahwa sehebat apapun ia menurut pandangan orang lain, ia tetaplah seorang hamba yang Allah lebih tahu tentang dirinya, termasuk tentang aib-aibnya. Yang Allah dengan sangat baik menutup semua keburukannya. Maka sebuah kalimat indah syukur pernah mampir dalam ingatanku, "barangkali ketika orang menganggap diri kita baik itu bukan berarti kita memang baik, tapi karena All...

Masihkah Selantang Dulu?

Allah tujuan kami Rosulullah tauladan kami Al Qur’an pedoman hidup kami Jihad adalah jalan juang kami Syahid di jalan ALLAH adalah cita-cita kami tertinggi. Semoga. Sampai akhir nanti kita. Bukan hanya tentang kerinduan betapa percaya dirinya semasa kecil dahulu menyanyikan senandung tersebut di depan siapa saja.   Bukan hanya yang sefikrah. Betapa percaya dirinya bocah polos ini dulu ketika ada yang menanyakan cita-citanya, dengan mantap mengatakan: Syahid di jalan ALLAH. “Syahid itu apa?”, “Syahid itu kita meninggal karena sudah singguh-sungguh memperjuangkan agama Islam.” Betapa dulu di setiap tukeran biodata dengan teman semasa kecil, selalu tak lupa mencantumkan motto hidup: Isy Kariman au mut Syahidan. Betapa tak pernah alpa untuk melantunkan doa selepas sholat “Ya Allah, karuniakan kami mati syahid” hanya karena mendengar barangsiapa menginginkan kesyahidan dengan sungguh-sungguh, maka Allah kabulkan meski mati di tempat tidur. Hanya karena bacaan-bacaan ...

Pilar-Pilar Peradaban Madinah

(Majelis Jejak Nabi yang diadakan di Masjid Baitul Ihsan kali ini bagian kedua, bersama Ustad Salim A Fillah. Berikut reviewnya. Semoga berlimpah manfaat. ) Madinah. Kota yang diberkahi. “Ya Allah...” demikian Rosulullah berdoa, “jadikan kami cinta pada Madinah ini sebagaimana cinta kami kepada Mekkah atau lebih banyak lagi. Ya Allah, tuangkanlah keberkahan bagi kami di Madinah ini, atas ahlinya, airnya, udaranya, dan buah-buahannya,” Sesampai di Madinah, tugas-tugas peradaban menanti Rosulullah dan para sahabatnya yang memang sudah ditunggu kedatangannya oleh penduduk Madinah. Dan peradaban itu disusun dari mulai pilar-pilarnya. Mari kita dengar penuturan Abdullah Bin Salam tentang pilar-pilar yang dibangun oleh Rosulullah ketika pertama kali sampai di Madinah. “Ketika tiba di Madinah, aku mendatangi beliau.   Ketika ku lihat secara jelas wajah beliau, maka aku bisa melihat bahwa wajah itu bukanlah wajah pendusta. Yang pertama kali kudengar saat itu adalah sabda bel...

Menapaki Jejak Sang Khalifah

“Bahan ini terlalu halus…” Deg. Aku menoleh mencari sumber suara. Entah kenapa seperti pernah menemui kalimat tersebut. Seorang anak kecil dengan wajah malu berlindung di samping ibunya dengan tingkah polah manjanya. Sesekali jari mungilnya memegang kain bahan di depannya. Jilbab bergonya yang menjulur panjang membuatku selirik melihat jilbab yang ku pakai. Sedikit malu. Pasalnya jilbabku tentu saja tak sepanjang jilbab bergonya. *** “Kain ini terlalu halus untukku” aku membayangkan, diriku berada disana. Melihat satu sosok yang tertawa mendengar kalimat orang di sampingnya yang tak lain adalah sahabatnya. “Mengapa engkau tertawa?” Barangkali, aku yang sudah tahu kelanjutan cerita ini akan ikut tersenyum. Tentu saja diantara haru dan mata yang sudah basah. “Aku hanya heran. Dulu waktu kau masih sebagai seorang pemuda di Madinah, kain seharga 30.000 ribu dirham masih sangat kasar menurutmu. Sekarang kini engkau telah menjadi khalifah tapi malah mengatakan kain seharga 3 dirham ini ...