(Majelis Jejak Nabi yang diadakan di
Masjid Baitul Ihsan kali ini bagian kedua, bersama Ustad Salim A Fillah. Berikut
reviewnya. Semoga berlimpah manfaat. )
Madinah. Kota yang diberkahi. “Ya
Allah...” demikian Rosulullah berdoa, “jadikan kami cinta pada Madinah ini
sebagaimana cinta kami kepada Mekkah atau lebih banyak lagi. Ya Allah,
tuangkanlah keberkahan bagi kami di Madinah ini, atas ahlinya, airnya, udaranya,
dan buah-buahannya,”
Sesampai di Madinah, tugas-tugas
peradaban menanti Rosulullah dan para sahabatnya yang memang sudah ditunggu
kedatangannya oleh penduduk Madinah. Dan peradaban itu disusun dari mulai
pilar-pilarnya.
Mari kita dengar penuturan Abdullah
Bin Salam tentang pilar-pilar yang dibangun oleh Rosulullah ketika pertama kali
sampai di Madinah.
“Ketika tiba di Madinah, aku
mendatangi beliau. Ketika ku lihat
secara jelas wajah beliau, maka aku bisa melihat bahwa wajah itu bukanlah wajah
pendusta. Yang pertama kali kudengar saat itu adalah sabda beliau:
“Wahai manusia, sebarkanlah salam,
berikanlah makanan, sambunglah tali persaudaraan, sholatlah pada malam hari
ketika semua orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan damai. “
(H.R Tirmizi, Ibnu Majah)
Sebarkanlah salam
Salam berarti mendoakan sesama muslim
agar selamat kehidupannya. Salam, bukan hanya ungkapan lisan. Menyebarkan salam
berarti wajib bagi seorang muslim menjamin keselamatan saudara kita dari
gangguan lisan dan tangan kita. Salam berarti wajib bagi kita menjadi jalan
seorang muslim menuju rahmatNya. Salam berarti wajib bagi kita agar Allah
memberi berkahNya kepada saudara kita. Salam harus dimaknai dan dihayati.
Ada satu kisah menarik tentang betapa
salam ini adalah benar-benar doa yang harus dimaknai ungkapannya. Suatu ketika,
Rosulullah berkunjung ke rumah seorang sahabat. Diucapnya salam. Sekali salam,
tak ada jawaban. Dua kali, belum juga ada jawaban, tiga kali, masih belum ada
jawaban. Hingga Rosulullah memutuskan pulang karena memang begitulah adabnya.
Jika tiga kali salam tak ada jawaban, maka kembalilah pulang. Ketika Rosulullah sudah beberapa langkah
meninggalkan rumah tersebut, tiba-tiba dari dalam seseorang berlari dan memanggil
Rosulullah.
“Wa’alaikumussalam wa rohmatullah wa
barokaatuh. Ahlan wa sahlan yaa Rosulullah...” sang tuan rumah ini menyambut
Rosulullah dengan wajah ceria.
“Tadi ketika aku mengucapkan salam
tiga kali tak ada jawaban, aku memutuskan pulang karena ku kira engkau sedang
ada urusan,”
“Tidak ya Rosulullah, sesungguhnya
tadi ketika engkau mengucapkan salam aku mendengarnya dari dalam,” jelasnya
“Lalu?”
“Aku sengaja menjawab perlahan dari
dalam dan tidak segera keluar agar engkau lebih banyak mendoakan keselamatan
untukku,” ia mengungkapkan dengan jujur.
Allahu Akbar. Kecerdasan para sahabat
memang di atas rata-rata.
Salam menjadi langkah awal sebuah
ikatan kasih sayang. “Kaum yang menyebarkan salam adalah kaum yang akan membawa
kebaikan”
Menyambung tali silaturahim
Menyambung tali kasih sayang yang
paling pertama adalah kepada orang-orang yang masih ada kekerabatan atau ada
hubungan nasab dengan kita. Kenapa begitu? Tercerainya keluarga akan
menghalangi proses terbentuknya peradaban. Maka keutuhan kasih sayang keluarga,
harus dikukuhkan salah satu yang utamanya adalah dengan silaturahim.
Selain itu, silaturahim dapat
menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Sebab itulah orang yang memutus tali
silaturahim dengan kita adalah yang paling
berhak untuk disambung silaturahimnya oleh kita.
Membagi makanan
Membagi makanan ini tidak bisa
digantikan dengan uang. Membagi makanan berarti sekaligus memudahkan orang
untuk mendapatkan kebutuhannya. Tetapi zaman sekarang orang lebih suka jika
diberi uangnya, dengan alasan lebih
efisien. Ketika dalam satu perang, Abdurrahman bin Auf menyumbangkan 4000 dirham
kekayaannya, sedangkan Utsman bin Affan menyediakan dan memberikan peralatan
peperangan dan perlengkapan kaum muslimin untuk berperang. Meskipun nilainya
sama atau bahkan lebih besar sumbangan Abduraahman, yang dilakukan Utsman lebih
disukai karena sifat memudahkannya dengan menyediakan perlengkapan perangnya
langsung.
Di Jogokariyan, jika ada musafir
meminta bantuan uang untuk perjalanan, pihak masjid tidak memberikan uangnya, tetapi
dengan memberi tiket kemana ia mau tuju sekaligus perbekalan makanan selama
perjalanan. Selain untuk menghindari penyelewengan, hal itu dimaksud dengan
memudahkan persoalan mereka.
Sholat di waktu malam (memperbaiki
hubungan dengan Allah)
Jika kita memperbaiki hubungan dengan
Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungan kita dengan makhluk. Seringkali
hadits ini dijadikan alasan untuk menghilangkan ikhtiar kita. Kita sering
berpikir, “jika begitu, saya perbaiki hubungan dengan Allah saja, toh jika saya
memperbaiki hubungan dengan Allah, Dia akan memperbaiki hubungan saya dengan
makhluknya,” ini jelas sebuah pikiran yang keliru. Maksud hadits tersebut
adalah, dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar seperti menyebarkan salam kepada sesama
muslim, membagi makanan, dan menyambung silatirahim, ada saja hambatannya,
entah dari banyaknya orang yang menolak dan tidak menyambut niat baik,
menganggap sebelah mata apa yang kita lakukan, maka dengan memperbaiki hubungan
dengan Allah ini, insya Allah Dia akan membantu kita menyelesaikan keretakan-keretakan
itu.
Mempersaudarakan
Mempersaudarakan yang dilakukan
Rosulullah, tidak hanya antara kaum Muhajirin dan Anshar, tetap antar sesama
kaum muhajirin. Mengapa? Karena meskipun muhajirin sama-sama hijrah dari Mekkah
ke Madinah, mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Di Madinah, mereka
sama-sama sebagai seorang muslim yang hijrah. Maka untuk semakin menguatkan
ikatan hati diantara sesama muhajirin, Rosulullah mempersaudarakan mereka. Cara
memasangkannya pun begitu unik. Abu Bakar Ash Shidiq misalnya, seorang pengusaha
nan saudagar, dipersaudarakan dengan Bilal bin Rabbah yang merupakan bekas
budak. Begitu ikatnya persaudaraan mereka, sesampainya di Madinah, mereka
berdua sama-sama sakit dan mengigau dengan igauan yang sama yaitu kerinduannya
dengan Mekkah. Umar bin Khattab dengan Said bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah
dengan Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqqash dengan Abdurrahman bin Auf.
Untuk memperlihatkan keindahan Islam, bahwa Islam tidak status sosial, tetapi
dari keimanan mereka.
Membangun masjid di atas taqwa
Masjid Quba adalah yang pertama kali
dibangun. Peran masjid tidak hanya untuk ibadah. Semua urusan kaum muslimin, ditempatkan
di Masjid. Di masjid, gandum-gandum digantungkan, dan bebas akses siapa yang
membutuhkannya boleh mengambilnya.
Masjid harus jelas objek dakwahnya.
Dengan kejelasan objek dakwah, maka manajemen yang lainnya juga akan mudah.
Misalnya, masjid ini objeknya sampai mana saja maka didata penduduknya. Di
Jogokariyan ada presensi sholat, akan ketahuan siapa yang tidak hadir. Jika
tidak hadir, jamaah akan bertanya-tanya kenapa tidak hadir sehingga muncul rasa
kepedulian disana. Atau ada orang yang tidak datang karena bisa jadi mereka
tidak mengerti bagaimana cara sholat. Kalau sudah tahu begitu, akan ada
ustad-ustad/pembimbing yang datang ke rumah untuk mengajari sholat ke
rumah-rumah sampai mereka bisa. Di Jogokariyan juga disediakan wadah untuk
menaruh beras, sehingga tiap ibu yang sholat di masjid, menyisihkan segenggam
berasnya untuk disedekahkan.
(Karena ada beberapa yang mis, saya juga mengambil referensi
dari buku Ar Rahiiq al makhtum karya Syakih Shafiyyurrahman dan Lapis-Lapis
Keberkahan Salim A Fillah)
Komentar
Posting Komentar