“Bahan ini terlalu halus…”
Deg. Aku menoleh mencari sumber suara. Entah kenapa seperti pernah menemui kalimat tersebut. Seorang anak kecil dengan wajah malu berlindung di samping ibunya dengan tingkah polah manjanya. Sesekali jari mungilnya memegang kain bahan di depannya. Jilbab bergonya yang menjulur panjang membuatku selirik melihat jilbab yang ku pakai. Sedikit malu. Pasalnya jilbabku tentu saja tak sepanjang jilbab bergonya.
***
“Kain ini terlalu halus untukku” aku membayangkan, diriku berada disana. Melihat satu sosok yang tertawa mendengar kalimat orang di sampingnya yang tak lain adalah sahabatnya.
“Mengapa engkau tertawa?” Barangkali, aku yang sudah tahu kelanjutan cerita ini akan ikut tersenyum. Tentu saja diantara haru dan mata yang sudah basah.
“Aku hanya heran. Dulu waktu kau masih sebagai seorang pemuda di Madinah, kain seharga 30.000 ribu dirham masih sangat kasar menurutmu. Sekarang kini engkau telah menjadi khalifah tapi malah mengatakan kain seharga 3 dirham ini terlalu halus menurutmu.”
Dan mungkin aku akan memandang gamis yang ku pakai saat itu. Gamis ini, bukankah kelak akan dipertanggungjawabkan juga?
***
“Kain ini terlalu halus untukku” aku membayangkan, diriku berada disana. Melihat satu sosok yang tertawa mendengar kalimat orang di sampingnya yang tak lain adalah sahabatnya.
“Mengapa engkau tertawa?” Barangkali, aku yang sudah tahu kelanjutan cerita ini akan ikut tersenyum. Tentu saja diantara haru dan mata yang sudah basah.
“Aku hanya heran. Dulu waktu kau masih sebagai seorang pemuda di Madinah, kain seharga 30.000 ribu dirham masih sangat kasar menurutmu. Sekarang kini engkau telah menjadi khalifah tapi malah mengatakan kain seharga 3 dirham ini terlalu halus menurutmu.”
Dan mungkin aku akan memandang gamis yang ku pakai saat itu. Gamis ini, bukankah kelak akan dipertanggungjawabkan juga?
Kemudian mungkin aku akan tergugu lagi mendengar penuturan seorang mujahidah pendamping sang khalifah. “Mungkin ada yang shalatnya atau ibadahnya lebih banyak daripada Umar. Tetapi demi Allah, aku belum menemui di zamannya ada orang yang lebih takut kepada Allah daripada Umar Bin Abdul Aziz. Aku melihatnya bangun untuk qiyamullail, dia membaca Al Qur'an dan sampai pada ayat yang menyebut tentang akhirat lalu dia menangis sampai pagi.”
Seketika itu juga mungkin aku akan terlempar jauh. Jauh sekali. Mereka yang menghendaki kehidupan akhirat dan mencampakkan dunia sejauh-jauhnya.
Saya semakin terlempar jauh sekali.
Saya semakin terlempar jauh sekali.
“Ya Allah, aku mencintai orang shalih meski aku bukan bagian dari mereka…”
Ciputat
Komentar
Posting Komentar