Gue kira setelah kita pentas drama, kita akan langsung diwisuda,” begitu canda teman-teman semester 6 usai pentas drama.
Drama.
Satu kata yang memenuhi malam-malam saya dengan mimpi-mimpi yang bersahutan. Mimpi tentang latihan, keterlambatan, properti, kostum, kemarahan dan semacamnya.
Bagaimana tidak? Hari-hari kami di semester 6 ini begitu mengharu biru. Kami ada mata kuliah pentas drama. 2,5 bulan mempersiapkan untuk pentas. Bukan berarti meniadakan mata kuliah lain. Waktu kosong kuliah kami pakai untuk latihan. Hari libur? Tak ada hari libur. Pergi jam 7 pagi pulang jam 1 dini hari. Itu sudah biasa. Sakit selama semiggu. Ah, betapa berkesan sekali.
Saya ingat ketika kami dalam satu kelompok perang dingin antara beberapa dari kami. Atau saling meneriaki dan marah. Dari itu semua, yang paling saya ingat adalah wajah kekhawatiran umi tiap malam. Umi yang selalu berjaga dari lelapnya menunggu putrinya pulang. “Berapa lama lagi?” Itu yang selalu ditanyakan. Barangkali terusan dari kalimat tersebut adalah “Berapa lama lagi kamu membuat umi khawatir seperti ini?”. Umi yang sedia menampung segala lelah dan luka saya sepulang latihan. Ketika saya merasa harus menangis. Merasa hampir saja ingin berhenti. Tak peduli mata kuliah ini adalah mata kuliah wajib jurusan. Ketika saya hampir saja putus asa. Tapi umi, abi juga kakak dan adik saya menyemangati, kamu sudah memulainya. Kalau ingin berhenti, berikan 1000 alasan kenapa harus berhenti dan kembalikan kepada niat awalmu dulu. Saat kamu ingin berhenti, renungkan lagi kenapa kamu memulainya dulu.
Yang saya ingat, abang yang sedia menjemput di dini hari tersebut dan Mencari susu jahe pukul 01.30.
Saya selalu merasa bahwa tiap peristiwa yang Allah ingin kita mengalaminya, pasti disana ada proses pembelajaran untuk kita. Allah hendak memberi pengajaran dengan berbagai macam caraNya. Saya seperti dihadapkan pada sebuah tembok besar dan kokoh yang harus saya hancurkan untuk melihat apa yang ada dibalik tembok itu. Saya belajar untuk mengamalkan betapa sulitnya memegang teguh prinsip-prinsip kita. Ketika latihan fisik setiap hari, berlari memutari kampus dengan tetap memakai kaos kaki. Tentu saja kaos kaki saya akhirnya banyak yang bolong. Hehe. Ketika diuji untuk tidak berpegangan tangan dengan lawan jenis. Diuji dengan waktu-waktu sholat yang bentrok dengan latihan, diuji dengan teman-teman ketika mencoba mengajak mereka untuk tetap mempertahankan jilbab mereka. Banyak sekali hal-hal yang membuat saya baper. Tapi saya memahami, kelak ketika terjun ke masyarakat ada lebih banyak lagi ujiannya. Saya jadi berpikir, apa nanti saya bisa bertahan dengan lingkungan yang seperti ini?
Dan seperti ada kebahagiaan yang sangat ketika sudah melewati itu semua. Dan di depan sana, ada yang membentangkan spanduk besar-besar.
“Semangat menghadapi proses pembelajaran selanjutnya”
Ya. Tidak berhenti sampai disini. Akan ada hal-ha lain yang mungkin lebih berat. Percayalah, dengan menyertakan Allah dalam setiap proses itu, segalanya akan baik-baik saja. Insya Allah.
Drama.
Satu kata yang memenuhi malam-malam saya dengan mimpi-mimpi yang bersahutan. Mimpi tentang latihan, keterlambatan, properti, kostum, kemarahan dan semacamnya.
Bagaimana tidak? Hari-hari kami di semester 6 ini begitu mengharu biru. Kami ada mata kuliah pentas drama. 2,5 bulan mempersiapkan untuk pentas. Bukan berarti meniadakan mata kuliah lain. Waktu kosong kuliah kami pakai untuk latihan. Hari libur? Tak ada hari libur. Pergi jam 7 pagi pulang jam 1 dini hari. Itu sudah biasa. Sakit selama semiggu. Ah, betapa berkesan sekali.
Saya ingat ketika kami dalam satu kelompok perang dingin antara beberapa dari kami. Atau saling meneriaki dan marah. Dari itu semua, yang paling saya ingat adalah wajah kekhawatiran umi tiap malam. Umi yang selalu berjaga dari lelapnya menunggu putrinya pulang. “Berapa lama lagi?” Itu yang selalu ditanyakan. Barangkali terusan dari kalimat tersebut adalah “Berapa lama lagi kamu membuat umi khawatir seperti ini?”. Umi yang sedia menampung segala lelah dan luka saya sepulang latihan. Ketika saya merasa harus menangis. Merasa hampir saja ingin berhenti. Tak peduli mata kuliah ini adalah mata kuliah wajib jurusan. Ketika saya hampir saja putus asa. Tapi umi, abi juga kakak dan adik saya menyemangati, kamu sudah memulainya. Kalau ingin berhenti, berikan 1000 alasan kenapa harus berhenti dan kembalikan kepada niat awalmu dulu. Saat kamu ingin berhenti, renungkan lagi kenapa kamu memulainya dulu.
Yang saya ingat, abang yang sedia menjemput di dini hari tersebut dan Mencari susu jahe pukul 01.30.
Saya selalu merasa bahwa tiap peristiwa yang Allah ingin kita mengalaminya, pasti disana ada proses pembelajaran untuk kita. Allah hendak memberi pengajaran dengan berbagai macam caraNya. Saya seperti dihadapkan pada sebuah tembok besar dan kokoh yang harus saya hancurkan untuk melihat apa yang ada dibalik tembok itu. Saya belajar untuk mengamalkan betapa sulitnya memegang teguh prinsip-prinsip kita. Ketika latihan fisik setiap hari, berlari memutari kampus dengan tetap memakai kaos kaki. Tentu saja kaos kaki saya akhirnya banyak yang bolong. Hehe. Ketika diuji untuk tidak berpegangan tangan dengan lawan jenis. Diuji dengan waktu-waktu sholat yang bentrok dengan latihan, diuji dengan teman-teman ketika mencoba mengajak mereka untuk tetap mempertahankan jilbab mereka. Banyak sekali hal-hal yang membuat saya baper. Tapi saya memahami, kelak ketika terjun ke masyarakat ada lebih banyak lagi ujiannya. Saya jadi berpikir, apa nanti saya bisa bertahan dengan lingkungan yang seperti ini?
Dan seperti ada kebahagiaan yang sangat ketika sudah melewati itu semua. Dan di depan sana, ada yang membentangkan spanduk besar-besar.
“Semangat menghadapi proses pembelajaran selanjutnya”
Ya. Tidak berhenti sampai disini. Akan ada hal-ha lain yang mungkin lebih berat. Percayalah, dengan menyertakan Allah dalam setiap proses itu, segalanya akan baik-baik saja. Insya Allah.
Tangerang Selatan, 4 Ramadhan
Komentar
Posting Komentar