Apa kabar, Bang?
Barangkali bagiku rindu adalah seperti sarapan pagi yang setiap hari harus dilakukan. Rasa rindu itu pula yang akhirnya kujelmakan dalam harap-harap penuh kepadaNya. Doa bagiku adalah semacam salam rindu yang ku titipkan kepada Rabb kita. Sampaikah, Bang?
Apa kabar, Bang?
Ini ramadhan ke sekian puluh yang ku lalui, dan setiap melalui ramadhan aku merindukan topik pembahasan ramadhan kita tentang muslimin yang melalui ramadhan di bumi para mujahid.
Hari ini, Bang.
Di Ramadhan ke-5 tahun ini, nun disana, di negeri para syuhada, pertumpahan darah oleh nafsu angkara murka masih terus terjadi. Seperti yang sudah-sudah kau katakan, bahwa harusnya kita malu jika ibadah-ibadah harian saja kita masih lalai, jika kita masih berat melakukan amalan sunnah, jika kita masih enggan melalui hari-hari setidaknya satu juz sehari. Sementara muslimin di sana di tengah waktu-waktu perjuangannya, pengisian ruhiyah mereka adalah hal yang prioritas.
Harusnya kita memang malu, jika ramadhan kita tak ada perbaikan dari tahun ke tahunnya. Jika ibadah-ibadah kita ternyata belum berdampak pada kehidupan-kehidupan sosial kita.
Setiap mengingatmu, Bang. Ada banyak nasihat-nasihatmu dulu yang sering ku abai kini bergema kembali. Dan semenjak kepergianmu, ada semacam janji untuk membuatku lebih baik lagi. Jika saat masih ada abang aku masih sering bandel akan nasihatmu, saat terakhir mengantar kepergianmu kembali padaNya, aku berjanji untuk semakin semangat dalam dakwah.
Bang, barangkali kita memang tak boleh berlarut dalam kesedihan. Aku tidak sedih, hanya menangis tiap mengingatmu sebab masih jauh dari memenuhi janjiku.
Ini hal lain. Setiap ke mall Blok m, yang selalu terbayang adalah tentang anak-anak jalanan, pengamen yang selalu menyapa dan menyalamimu dan ikut sholat bersamamu. Berbincang dekat sekali. Sedekat itu. Ah…dakwahmu, Bang…aku jadi malu.
Ramadhan adalah segala hal tentangmu, Bang. Juga Ramadhan ini.
(ditullis pada 5 Ramadhan)
Barangkali bagiku rindu adalah seperti sarapan pagi yang setiap hari harus dilakukan. Rasa rindu itu pula yang akhirnya kujelmakan dalam harap-harap penuh kepadaNya. Doa bagiku adalah semacam salam rindu yang ku titipkan kepada Rabb kita. Sampaikah, Bang?
Apa kabar, Bang?
Ini ramadhan ke sekian puluh yang ku lalui, dan setiap melalui ramadhan aku merindukan topik pembahasan ramadhan kita tentang muslimin yang melalui ramadhan di bumi para mujahid.
Hari ini, Bang.
Di Ramadhan ke-5 tahun ini, nun disana, di negeri para syuhada, pertumpahan darah oleh nafsu angkara murka masih terus terjadi. Seperti yang sudah-sudah kau katakan, bahwa harusnya kita malu jika ibadah-ibadah harian saja kita masih lalai, jika kita masih berat melakukan amalan sunnah, jika kita masih enggan melalui hari-hari setidaknya satu juz sehari. Sementara muslimin di sana di tengah waktu-waktu perjuangannya, pengisian ruhiyah mereka adalah hal yang prioritas.
Harusnya kita memang malu, jika ramadhan kita tak ada perbaikan dari tahun ke tahunnya. Jika ibadah-ibadah kita ternyata belum berdampak pada kehidupan-kehidupan sosial kita.
Setiap mengingatmu, Bang. Ada banyak nasihat-nasihatmu dulu yang sering ku abai kini bergema kembali. Dan semenjak kepergianmu, ada semacam janji untuk membuatku lebih baik lagi. Jika saat masih ada abang aku masih sering bandel akan nasihatmu, saat terakhir mengantar kepergianmu kembali padaNya, aku berjanji untuk semakin semangat dalam dakwah.
Bang, barangkali kita memang tak boleh berlarut dalam kesedihan. Aku tidak sedih, hanya menangis tiap mengingatmu sebab masih jauh dari memenuhi janjiku.
Ini hal lain. Setiap ke mall Blok m, yang selalu terbayang adalah tentang anak-anak jalanan, pengamen yang selalu menyapa dan menyalamimu dan ikut sholat bersamamu. Berbincang dekat sekali. Sedekat itu. Ah…dakwahmu, Bang…aku jadi malu.
Ramadhan adalah segala hal tentangmu, Bang. Juga Ramadhan ini.
(ditullis pada 5 Ramadhan)
Komentar
Posting Komentar