Pagi tadi dua puluh lima menit sebelum berangkat kuliah, Bapak
sedikit bercerita tentang guru Oemar Bakri yang seolah nyata itu bagi
Bapak. Sambil menyiasati lemari pakaiannya yang bermasalah di depan
rumah. Bapak bercerita benar-benar seperti guru Oemar Bakri adalah
seorang pahlawan yang dikenang, layaknya Bapak menceritakan Natsir,
Hamka dan tokoh nyata lainnya.
“Kayak guru Oemar Bakri. Jujur. Bener.”
Aku tersenyum saja sambil memakai sepatu tali yang masih nyaman ku gunakan.
“Oemar Bakri kan cuma tokoh fiktif, Pak.” jawabku sekenanya.
“Loh kamu anak sastra juga, kan? Pasti tahu bahwa karya sastra lahir karena pasti ada suatu masalah yang menjangkit di masyarakat. Sastra itu representatif kehidupan nyata”
Aku mingkem. Bapak mengingatkanku tentang guru ‘Oemar Bakri’ yang memang benar-benar ada hidupnya.
“Ingat. Jujur. Bener. Sederhana.”
“Kayak guru Oemar Bakri. Jujur. Bener.”
Aku tersenyum saja sambil memakai sepatu tali yang masih nyaman ku gunakan.
“Oemar Bakri kan cuma tokoh fiktif, Pak.” jawabku sekenanya.
“Loh kamu anak sastra juga, kan? Pasti tahu bahwa karya sastra lahir karena pasti ada suatu masalah yang menjangkit di masyarakat. Sastra itu representatif kehidupan nyata”
Aku mingkem. Bapak mengingatkanku tentang guru ‘Oemar Bakri’ yang memang benar-benar ada hidupnya.
“Ingat. Jujur. Bener. Sederhana.”
Tangerang Selatan.
Komentar
Posting Komentar