Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Dalam Diam

Ada yang diam-diam mengukir namamu pada langit fajar dan petang Ada yang diam-diam menyembunyikan senyumsipunya saat kau berlalu melewatinya Ada yang -tanpakautahu- menatapmmu dari kejauhan sambil menabah-tabahkan hati, bahwa keterjauhan jarak itu tetap membuatnya bahagia. Tapi...ada yang lebih merahasiakan namamu; dikedalaman doa yang terpanjat.

Belajar dari Seorang Ibunda

Adinda, jika hari ini kau merasa bahwa hidupmu begitu rumit, dengan kejadian-kejadian yang membuat matamu seringkali basah, dengan potongan peristiwa yang membuatmu seakan tak berarti, sendiri...tertatih. Aku tau adinda...kau, aku, mereka, seringkali hampir saja putus asa, hampir saja terpuruk jatuh. Tapi, sebelum kau memutuskan untuk menyerah kalah, aku ingin mengajakmu bertemu pada seorang ibunda. Mari ikut aku belajar padanya. Ia, seorang ibu muda. Dengan dua orang anak yang masih terlalu kecil untuk ikut merasakan pahit getir ujian hidup sang bunda. Aku mengenalnya, setahun lalu. Kutemui ia di rumahnya saat ia memintaku ajari anaknya membaca. Pemilik usaha kue kering yang bisa dibilang cukup berhasil. Awal ku kenal, ia begitu cuek, kurang menghargai orang lain, semaunya sendiri, duniawi, tak begitu peduli dengan pendidikan agama anaknya, “Saya ingin anak saya diajari membaca   saja. Untuk mengaji, yaa itu bisa nanti lah kapan-kapan” dan hal-hal yang aku pun tidak telalu ...

Sabar itu...

Sabar itu adikku,adalah obat.  Meski pahit,ia menyembuhkan.  menyembuhkan jiwa yg tengah luka. Adikku, aku tak mengenalmu kecuali adalah sebagai cinta, yang ceria,sekaligus tegar Tegarlah matahariku : To my beloved sister

Lagi, untuk Abang

Abang, Maafin De belum bisa merela. Menerima seppenuhnya ketetapan Rabb kita Menerima sepenuhnya...bahwa abang tak lagi disini..di dunia ini. Maafin De yang dari dulu selalu tak bisa jauh dari abang, bahkan sampai saat ini... sampai saat ini... De mencintai Abang karena Allah... Doakan semakin ikhlas akan segala ketetapanNya. Cita kita tetap satu jua abang, ini kan nasyid yang dulu sering kita senandungkan?

Hari Itu Aku Menemukannya

Ya Allah, hari itu aku menemukannya, sosok yang kata-katanya membuatku terbuai, jiwa yang santunnya membuatku tersentuh, dan pesona yang hatinya membuatku enggan untuk tidak memercayainya. Syukurku selalu pada-Mu ya Allah, sebab Kau telah memberiku kesempatan dan kepercayaan atas titipan cinta-Mu yang kian aliri diriku untuk terus dan terus tanpa henti dan tak lelah menanti hanya dengan membawa satu makna bahwa aku adalah seorang yang sangat memedulikannya. Kuharap Engkau selalu membimbingku ya Allah, agar suatu saat ketika semua ini harus kutinggalkan, sebentuk kata akan mengiriku, menemaniku, dan meyakinkan jiwaku bahwa aku telah membuatnya berarti. Aku tahu bahwa pada suatu saat nanti aku harus pergi. Juga kutahu bahwa aku harus meninggalkannya, namun Ya Rabb wahai Zat yang Mahakuasa…. Tidakkah Engkau melihat…? Tidakkah Engkau mendengar…? Bahwa tak pernah kulewatkan satu saat pun dalam segala shalat dan tahajudku untuk tidak meminta yang terbaik untuknya kepada-Mu?...

Hatimu, Ciptaan Istimewa

Pada akhirnya aku tau, segala kesedihan dan setiap resah yang pernah membuncah... semua hanya akan menjadi masa lalu.  Jika begitu...kenapa tak menjalani sesuatu dengan apa adanya? Memang kesedihan yang amat mendalam begitu terasa saat pertama kali guncangan mengahmpiri, pun kita tak bisa melupakan begitu saja semua yang telah terjadi. Ada kepingan-kepingan yang rasanya sulit sekali tuk ditata kembali. Menata perasaan seperti awal adanya. Ah, tapi mana bisa, sedang pasti ada kepingan-kepingan yang rusak yang belum tentu bisa diperbaiki. Aku tau itu. Memperbaiki perasaan yang hancur? Dalam sekejap? Bagaimana bisa? Tapi...ku rasa hati kita adalah ciptaan Istimewa Tuhan Pemilik Segala. Disana ada ruang dimana penerimaan akan segala yang terjadi. Penerimaan...untuk kemudian kita memahami bahwa kesedihan adalah niscaya, tapi penerimaan terkadang atau bahkan memang harus kita usahakan. Selanjutnya, disitu selalu ada nurani, yang kan membantumu tuntun hidupmu selanjutnya.

Abang, Pulanglah...

Abang, dimana? kapan kembali? Akankah waktu berbaik hati pertemukan kita? Atau selamanya ia kejam, menghendaki perpisahan yang tak ku inginkan. Abang, dimana? Kapan kembali? Akankah waktu berbaik hati menghapus air mata dari yang mencinta? air mata ibu seringkali luruh mengingatmu juga denganku, juga dengan yang lainnya. tak ada yang bisa menghapus kecuali kedatanganmu. Abang dimana? Kapan kembali? Akankah waktu berbaik hati Agar yang tercinta, ibu tak lagi mengatakan kata yang mampu menghentikan suapan makanan ketika kami makan. “ abangmu, dimana? Makan apa?” Setetes air mata jatuh dari mata redupnya yang selalu memancarkan cinta. “ abangmu, pernah bilang; orek tempe buatan ibu selalu enak” Setetes lagi... “ abangmu, katanya selalu rindu dengan kolak singkong buatan ibu, agar-agar buatan ibu yang berbeda. Jika rindu, bukankah seharusnya dia segera pulang?” Tidak setetes dua tetes lagi air mata jatuh, tapi deras...deras...isak-isak tangis antara kam...

Mahasiswa dan Sampah

Bukan, sampah yang saya maksud disini bukan sampah dalam makna konotasi, tapi benar-benar sampah dalam makna sebenarnya. Ya, sampah yang biasa kita temui dimana-mana. Dimana-mana loh ya, bukan Cuma di tempat sampah, karena toh pada kenyataannya saya jarang   melihat sampah yang banyak di tempat sampah tapi lebih sering melihat sampah-sampah itu berserakan di jalan, di atas rumput taman kampus, di loby fakultas, bahkan di dalam kelas tempat mahasiswa belajar! Well, seolah-olah saya tukang sampah banget sampe tau keadaan tempat sampah yang ‘sepi’ dari sampah. No, no, no, saya bukan tukang sampah, saya hanya suka mengembara dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain *samaaja*