Langsung ke konten utama

Belajar dari Seorang Ibunda



Adinda, jika hari ini kau merasa bahwa hidupmu begitu rumit, dengan kejadian-kejadian yang membuat matamu seringkali basah, dengan potongan peristiwa yang membuatmu seakan tak berarti, sendiri...tertatih. Aku tau adinda...kau, aku, mereka, seringkali hampir saja putus asa, hampir saja terpuruk jatuh. Tapi, sebelum kau memutuskan untuk menyerah kalah, aku ingin mengajakmu bertemu pada seorang ibunda. Mari ikut aku belajar padanya.
Ia, seorang ibu muda. Dengan dua orang anak yang masih terlalu kecil untuk ikut merasakan pahit getir ujian hidup sang bunda. Aku mengenalnya, setahun lalu. Kutemui ia di rumahnya saat ia memintaku ajari anaknya membaca. Pemilik usaha kue kering yang bisa dibilang cukup berhasil. Awal ku kenal, ia begitu cuek, kurang menghargai orang lain, semaunya sendiri, duniawi, tak begitu peduli dengan pendidikan agama anaknya, “Saya ingin anak saya diajari membaca  saja. Untuk mengaji, yaa itu bisa nanti lah kapan-kapan” dan hal-hal yang aku pun tidak telalu menyukainya. Hal itu yang aku tangkap dari sikap dan pembicaraannya setahun lalu. Tapi, adinda...siapalah kita menghakimi orang lain dengan judge-judge yang buruk dan memutuskan bahwa ia benar atau salah. Sebab kita mungkin seringkali hanya melihat dengan mata.
Setahun lalu setelah sebulan selesai masa baktiku mengajari anaknya membaca, setelah itu pula aku menganggapnya sebagai orang-orang yang selintas lewat di dalam kehidupanku. Tak lebih. Tapi tidak dengan Allah, adinda...
Dia selalu punya rencana lain untuk membuat kita belajar dari orang-orang yang bukan kita. Kemarin, ia mengundangku kembali, di rumah barunya. Selain juga untuk membicarakan tentang kenalannya yang ingin bekerjasama agar aku menuliskan perjalanan hidupnya. Aku tertarik, adinda...tentu saja. Mempelajari kehidupan dan kisah orang lain adalah sebuah pelajaran berharga.
Sesampai di rumahnya, aku disambut dengan kedua anaknya yang kritis dan kreatif itu.
Waktu seringkali memang banyak mengubah seseorang, adinda... mungkin benar begitu yang dikatakan seorang bijak. Terlepas dari baik-tidaknya perubahan tersebut. Dan, begitulah hidayah...merasuk ke dalam jiwa-jiwa yang Allah beri kurnia.
Speechless. Begitulah reaksi ku sekembali bertemu dengannya setelah setahun lalu. Setahun. Waktu yang cukup singkat. Bukan hanya karena sekarang ia telah berhijab tapi lebih dari itu.
Bagi orang sepertiku, seperti kita, adinda...berhijab mungkin sesuatu yang biasa, mengingat sedari kecil orang tuaku dan keluarga telah membiasakan diri untuk berhijab. Aku tak perlu melewati pergolakan batin dan perjuangan berdarah-darah ketika memutuskan untuk berhijab seperti yang dirasakan sebagian teman-temanku. Sebab aku, kamu tau, kita tak punya alasan untuk tidak berhijab. Tapi bagi orang-orang seperti ibunda ini, aku tau, memutuskan berhijab bukanlah sesuatu yang mudah sebagaimana aku memahami.
Saat diskusi, aku yakin selama setahun ibunda benar-benar belajar menjadi muslimah yang baik. Terlihat dari sikap beliau sekarang dan dari kalimat-kalimat tausiyah yang keluar dari lisannya. Hal yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
“Saya ini, De, jika kamu tau, dulu adalah orang yang sangat depresi. Orang melihat saya mungkin baik-baik saja, tapi mereka tidak tau bahwa saya sebenarnya sudah hancur” ia memulai ceritanya tanpa diminta.
2011, ia dikhianati oleh suaminya. Suaminya memiliki perempuan lain diluar sana. Ia shocked. Ah, adinda, istri mana yang tidak sakit melihat suaminya seperti itu? Ia depresi. Beruntung ibunya segera membawanya ke seorang ustad, motivator. Keadaannya cukup membaik.
2012, suaminya kembali lagi. Tapi pada tahun yang sama ia dikhianati kembali. Lebih parah, suaminya membawa pergi harta benda. Ia dan kedua anaknya yang masih kecil ditinggal pergi bersama wanita lain dengan membawa harta benda milik mereka. Tahun itulah puncaknya. Ia benar-benar hancur, tak tahu harus berbuat apa sementara ia dihadapkan pada kehidupan anaknya selanjutnya.
Saat itu, ibunya kembali membawanya ke ustad dan motivator yang lalu mereka datangi. Darinya ia memahami takdirnya.
“Tak ada yang tak mungkin bagi Allah” begitu kata sang motivator ini. Sederhana sekali kata-katanya. Sesungguhnya ia sebelumnya sudah seringkali mendengar nasihat seperti itu tapi entah kenapa saat itu kalimat tersebut begitu menohok. Yang ia tau, pada saat jatuhnya ia tak ada yang menggaungkan kalimat tersebut padanya.
Saat ia selesai mengeluhkan semua penderitaannya, motivator ini justru menyuruhnya menceritakan tentang masa-masa sebelum ia menghadapi ujian-ujian terberat dalam hidupnya juga masa lalunya. Ibunda ini tak tahu apa maksudnya, tapi demi mendapat jawaban motivator di hadapannya, ia pun bercerita.
Waktu masih kecil,adinda,  ia pernah terkena DBD dan divonis dokter hidupnya takkan lebih dari seminggu. Kenyataanya? Atas izin Allah ia selamat dan masih hidup, sementara anak sang dokter yang juga terkena DBD justru tak bisa diselamatkan.
Ia juga pernah hampir tertabrak kereta di dalam mobilnya. Seizin Allah, seorang tukang becak menolongnya sehingga ia tak tertabrak.
Ia dan suaminya juga pernah dikeroyok massa. Atas izin Allah ia tak luka sedikitpun sedangkan suaminya babak belur dan mobil mereka cukup hancur.
“ Itulah jawabannya,bu” kata motivator ini. Ia bingung, jawaban apa? Sementara ia sudah sangat terpuruk dengan pengkhianatan dan perlakuan yang dilakukan suaminya. Jawaban apa?
“Dari peristiwa-peristiwa yang tadi ibu ceritakan, ibu tidak juga belajar? Ibu tidak belajar bahwa Allah selalu memberi jalan keluar dan bantuan atas masalah-masalah ibu?”
“Takdir. Taqdir ibu yang harus ibu jalani. Semua yang terjadi tak ada yang kebetulan. Allah buat skenario hidup kita dan kita hanyalah menjalani.
Darinya juga ia mulai menyadari bahwa tak ada hal sekecil apapun dalam hidup seseorang kecuali Allah telah mencatatnya dalam catatan yang tidak manusia ketahui. Bahwa sesuatu takkan terjadi jika Allah tak menjadikannya. Pun sebaliknya.
Ia mulai merintis usaha kue kering. Meski seringkali suaminya datang dan menghinanya, “jual kue kering? Gak akan bisa kamu menghidupi anak dengan menjual kue kering.” Suaminya tak tahu, kue kering memang tak bisa menghidupi mereka, tapi Allah yang menghidupi mereka.
Beberapa bulan lalu,adinda, rumahnya sudah hampir saja dilelang oleh Bank kalau ia tak menjual rumahnya. Daripada dilelang, ia lebih baik menjualnya. H-4 hari pelelangan ia belum juga mendapat orang yang mau membeli rumahnya. Ia pasrah. Jika takdirnya lelang, ya sudahlah. H-3 atas izin Allah ada orang yang mau membeli rumahnya.
Belum lama ia pergi umroh bersama keluarganya. Beberapa waktu lalu pula mobilnya dicuri. Semua berkas-berkas penting itu ada di mobil tersebut. Sedih. Panik. Tentu saja. Bedanya kini, ia sudah siap menghadapi ujian tersebut.
“Besoknya saya lapor polisi yang marah-marah karena saya baru melaporkannya hari itu. Saya pasrah-sepasrah-pasrahnya. Saya yakini semua yang saya punya adalah milik Allah. Terserah Allah saja dengan tetap berusaha.”
“Itulah takdir. Jalani saja dengan tetap berprasangka baik pada Allah. Jangan dilawan. Jalani saja.” Begitu katanya, adinda.
“Nyatanya, Allah memang tengah menguji sampai sejauh mana kepasrahan saya padaNya. Sebulan kemudian mobil saya yang dicuri itu kembali.”
“Mungkin juga Allah sedang menguji saya sampai di titik mana saya sanggup menjalani ujian dariNya.”
Kau tau, adinda? Mataku sudah sungguh tak kuasa mendengarnya. Aku semakin merasa kecil di hadapanNya, semakin merasa bahwa hidup kita berada penuh dalam genggamanNya.
Adinda, ibunda yang ku ceritakan padamu ini hanyalah satu dari sekian banyak orang yang tak mudah jatuh begitu saja. Ia jatuh, bangun, jatuh, bangun, begitu seterusnya. Adinda, terkadang pertolongan Allah datang saat kita benar-benar merasa begitu lemah, saat kita merasa hampir saja putus asa, saat kita benar-benar pasrah padanNya dan merasa bahwa hanya Dia yang dapat menolong kita.
Yang sedikit ku tekankan, adinda...kita hanyalah pemain dari skenario yang telah Allah buat untuk kita. Dan Allah tak mungkin salah memilih kita sebagai pemerannya. Sebab Dia lah Pencipta dan Pencipta tau yang terbaik untuk yang diciptanya.
Yang harus kau ingat, adinda...belajarlah dari sekelilingmu. Tak peduli darimana pelajaran itu datang. Sebab bagi mukmin, hikmah itu terserak dimanapun. Seseorang pernah berkata, selayaknya kita menjadikan setiap tempat adalah sekolah, maka selayaknya pula kita jadikan tiap orang adalah sang guru. Dan kita lah murid yang tengah belajar menjadi lebih baik.
Maka belajarlah, adinda...agar kau, aku, kita semakin bijak hadapi tiap persoalan. Dan sertakan Allah di tiap desah nafas dan jejak langkah kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muhasabah Petang Lalu

”Barangsiapa yang belum pernah menemui kesulitan dalam proses pembelajaran ketika itu akan datang kepadanya suatu yang cepat berupa kesulitan dan kebodohan sepanjang hidupnya.” Cambuk bagi kita perkataan ulama Mesir diatas. Sebuah cambuk yang seharusnya menjadi renungan untuk para penuntut ilmu.

Tentang Kepenulisan #1

Pagiiiiiiii..........Hari ini cerah, bukan? Mari kita awali hari ini dengan bismillah dan semoga hal-hal baik membersamai kalian selalu. Setelah saya pikir-pikir, sepertinya blog saya ini kesannya diarish banget deh. nah...mulai saat ini, saya mau juga dong sharing2 ilmu tentag kepenulisan. semoga saja, ilmu yang sedikit ini bisa bermanfaat ya. Buat kalian yang seneng nulis, biasanya seneng juga nih dateng ke seminar-seminar/pelatihan-pelatihan menulis. selain karena ingin bertemu dengan pembicara-pembicaranya yang pastinya seorang penulis, juga pengen tau lebih banyak tentang dunia kepenulisan. Ini ada beberapa hal yang saya dapatkan ketika mengikuti seminar kepenulisan bersama bunda Asma Nadia dan Boim Lebon.

Pertemuan Kembali

Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh, teman-teman. Maasya Allah, alhamdulillahillazii bi ni'matihii tatimmusshalihat. Di bulan Syawwal yang insyaa Allah diberkahi ini, Allah masih memberikan kesempatan kita untuk menikmati segala karuniaNya. Maafkan, lama sekali tak bersapa langsung begini. Tersebab, ada project-project yang harus diselesaikan. Tersebab yang lain adalah, saya punya "kawan baru" yaitu mikroblog sebelah. Semoga ke depannya bisa lebih banyak bersama. Oya, project-project itu antara lain adalah mengedit tulsan seorang teman yang insyaa Allah akan meluncurkan buku keempatnya. Duh, ngomongin tentang peluncuran buku, jadi malu sendiri karena setahun kemarin merasa gak produktif untuk menulis sebuah buku, padahal target minimal setahun meluncurkan sebuah buku. Semoga tahun ini bisa tercapai. Oh, sekarang jadi tukang ngedit juga? Hehe, iya. Ahamdulillah sekaligus menerapkan ilmu yang dipelajari di kampus. Jadi kalau ada teman-teman yang membutu...