Adinda, jika hari ini kau merasa bahwa hidupmu
begitu rumit, dengan kejadian-kejadian yang membuat matamu seringkali basah,
dengan potongan peristiwa yang membuatmu seakan tak berarti,
sendiri...tertatih. Aku tau adinda...kau, aku, mereka, seringkali hampir saja
putus asa, hampir saja terpuruk jatuh. Tapi, sebelum kau memutuskan untuk
menyerah kalah, aku ingin mengajakmu bertemu pada seorang ibunda. Mari ikut aku
belajar padanya.
Ia, seorang ibu muda. Dengan dua orang anak
yang masih terlalu kecil untuk ikut merasakan pahit getir ujian hidup sang
bunda. Aku mengenalnya, setahun lalu. Kutemui ia di rumahnya saat ia memintaku
ajari anaknya membaca. Pemilik usaha kue kering yang bisa dibilang cukup
berhasil. Awal ku kenal, ia begitu cuek, kurang menghargai orang lain, semaunya
sendiri, duniawi, tak begitu peduli dengan pendidikan agama anaknya, “Saya
ingin anak saya diajari membaca saja.
Untuk mengaji, yaa itu bisa nanti lah kapan-kapan” dan hal-hal yang aku pun
tidak telalu menyukainya. Hal itu yang aku tangkap dari sikap dan
pembicaraannya setahun lalu. Tapi, adinda...siapalah kita menghakimi orang lain
dengan judge-judge yang buruk dan memutuskan bahwa ia benar atau salah. Sebab
kita mungkin seringkali hanya melihat dengan mata.
Setahun lalu setelah sebulan selesai masa
baktiku mengajari anaknya membaca, setelah itu pula aku menganggapnya sebagai
orang-orang yang selintas lewat di dalam kehidupanku. Tak lebih. Tapi tidak
dengan Allah, adinda...
Dia selalu punya rencana lain untuk membuat kita belajar dari orang-orang yang bukan kita. Kemarin, ia mengundangku kembali, di rumah barunya. Selain juga untuk membicarakan tentang kenalannya yang ingin bekerjasama agar aku menuliskan perjalanan hidupnya. Aku tertarik, adinda...tentu saja. Mempelajari kehidupan dan kisah orang lain adalah sebuah pelajaran berharga.
Dia selalu punya rencana lain untuk membuat kita belajar dari orang-orang yang bukan kita. Kemarin, ia mengundangku kembali, di rumah barunya. Selain juga untuk membicarakan tentang kenalannya yang ingin bekerjasama agar aku menuliskan perjalanan hidupnya. Aku tertarik, adinda...tentu saja. Mempelajari kehidupan dan kisah orang lain adalah sebuah pelajaran berharga.
Sesampai di rumahnya, aku disambut dengan
kedua anaknya yang kritis dan kreatif itu.
Waktu seringkali memang banyak mengubah
seseorang, adinda... mungkin benar begitu yang dikatakan seorang bijak. Terlepas
dari baik-tidaknya perubahan tersebut. Dan, begitulah hidayah...merasuk ke
dalam jiwa-jiwa yang Allah beri kurnia.
Speechless. Begitulah reaksi ku sekembali
bertemu dengannya setelah setahun lalu. Setahun. Waktu yang cukup singkat.
Bukan hanya karena sekarang ia telah berhijab tapi lebih dari itu.
Bagi orang sepertiku, seperti kita,
adinda...berhijab mungkin sesuatu yang biasa, mengingat sedari kecil orang
tuaku dan keluarga telah membiasakan diri untuk berhijab. Aku tak perlu
melewati pergolakan batin dan perjuangan berdarah-darah ketika memutuskan untuk
berhijab seperti yang dirasakan sebagian teman-temanku. Sebab aku, kamu tau,
kita tak punya alasan untuk tidak berhijab. Tapi bagi orang-orang seperti
ibunda ini, aku tau, memutuskan berhijab bukanlah sesuatu yang mudah
sebagaimana aku memahami.
Saat diskusi, aku yakin selama setahun ibunda
benar-benar belajar menjadi muslimah yang baik. Terlihat dari sikap beliau
sekarang dan dari kalimat-kalimat tausiyah yang keluar dari lisannya. Hal yang
belum pernah aku dengar sebelumnya.
“Saya ini, De, jika kamu tau, dulu adalah
orang yang sangat depresi. Orang melihat saya mungkin baik-baik saja, tapi
mereka tidak tau bahwa saya sebenarnya sudah hancur” ia memulai ceritanya tanpa
diminta.
2011, ia dikhianati oleh suaminya. Suaminya
memiliki perempuan lain diluar sana. Ia shocked. Ah, adinda, istri mana yang
tidak sakit melihat suaminya seperti itu? Ia depresi. Beruntung ibunya segera
membawanya ke seorang ustad, motivator. Keadaannya cukup membaik.
2012, suaminya kembali lagi. Tapi pada tahun
yang sama ia dikhianati kembali. Lebih parah, suaminya membawa pergi harta
benda. Ia dan kedua anaknya yang masih kecil ditinggal pergi bersama wanita
lain dengan membawa harta benda milik mereka. Tahun itulah puncaknya. Ia benar-benar
hancur, tak tahu harus berbuat apa sementara ia dihadapkan pada kehidupan
anaknya selanjutnya.
Saat itu, ibunya kembali membawanya ke ustad
dan motivator yang lalu mereka datangi. Darinya ia memahami takdirnya.
“Tak ada yang tak mungkin bagi Allah” begitu
kata sang motivator ini. Sederhana sekali kata-katanya. Sesungguhnya ia
sebelumnya sudah seringkali mendengar nasihat seperti itu tapi entah kenapa
saat itu kalimat tersebut begitu menohok. Yang ia tau, pada saat jatuhnya ia
tak ada yang menggaungkan kalimat tersebut padanya.
Saat ia selesai mengeluhkan semua
penderitaannya, motivator ini justru menyuruhnya menceritakan tentang masa-masa
sebelum ia menghadapi ujian-ujian terberat dalam hidupnya juga masa lalunya.
Ibunda ini tak tahu apa maksudnya, tapi demi mendapat jawaban motivator di
hadapannya, ia pun bercerita.
Waktu masih kecil,adinda, ia pernah terkena DBD dan divonis dokter
hidupnya takkan lebih dari seminggu. Kenyataanya? Atas izin Allah ia selamat
dan masih hidup, sementara anak sang dokter yang juga terkena DBD justru tak
bisa diselamatkan.
Ia juga pernah hampir tertabrak kereta di
dalam mobilnya. Seizin Allah, seorang tukang becak menolongnya sehingga ia tak
tertabrak.
Ia dan suaminya juga pernah dikeroyok massa.
Atas izin Allah ia tak luka sedikitpun sedangkan suaminya babak belur dan mobil
mereka cukup hancur.
“ Itulah jawabannya,bu” kata motivator ini. Ia
bingung, jawaban apa? Sementara ia sudah sangat terpuruk dengan pengkhianatan
dan perlakuan yang dilakukan suaminya. Jawaban apa?
“Dari peristiwa-peristiwa yang tadi ibu
ceritakan, ibu tidak juga belajar? Ibu tidak belajar bahwa Allah selalu memberi
jalan keluar dan bantuan atas masalah-masalah ibu?”
“Takdir. Taqdir ibu yang harus ibu jalani.
Semua yang terjadi tak ada yang kebetulan. Allah buat skenario hidup kita dan kita
hanyalah menjalani.
Darinya juga ia mulai menyadari bahwa tak ada
hal sekecil apapun dalam hidup seseorang kecuali Allah telah mencatatnya dalam
catatan yang tidak manusia ketahui. Bahwa sesuatu takkan terjadi jika Allah tak
menjadikannya. Pun sebaliknya.
Ia mulai merintis usaha kue kering. Meski
seringkali suaminya datang dan menghinanya, “jual kue kering? Gak akan bisa
kamu menghidupi anak dengan menjual kue kering.” Suaminya tak tahu, kue kering
memang tak bisa menghidupi mereka, tapi Allah yang menghidupi mereka.
Beberapa bulan lalu,adinda, rumahnya sudah
hampir saja dilelang oleh Bank kalau ia tak menjual rumahnya. Daripada dilelang,
ia lebih baik menjualnya. H-4 hari pelelangan ia belum juga mendapat orang yang
mau membeli rumahnya. Ia pasrah. Jika takdirnya lelang, ya sudahlah. H-3 atas
izin Allah ada orang yang mau membeli rumahnya.
Belum lama ia pergi umroh bersama keluarganya.
Beberapa waktu lalu pula mobilnya dicuri. Semua berkas-berkas penting itu ada di
mobil tersebut. Sedih. Panik. Tentu saja. Bedanya kini, ia sudah siap
menghadapi ujian tersebut.
“Besoknya saya lapor polisi yang marah-marah karena
saya baru melaporkannya hari itu. Saya pasrah-sepasrah-pasrahnya. Saya yakini
semua yang saya punya adalah milik Allah. Terserah Allah saja dengan tetap
berusaha.”
“Itulah takdir. Jalani saja dengan tetap
berprasangka baik pada Allah. Jangan dilawan. Jalani saja.” Begitu katanya,
adinda.
“Nyatanya, Allah memang tengah menguji sampai
sejauh mana kepasrahan saya padaNya. Sebulan kemudian mobil saya yang dicuri
itu kembali.”
“Mungkin juga Allah sedang menguji saya sampai
di titik mana saya sanggup menjalani ujian dariNya.”
Kau tau, adinda? Mataku sudah sungguh tak
kuasa mendengarnya. Aku semakin merasa kecil di hadapanNya, semakin merasa
bahwa hidup kita berada penuh dalam genggamanNya.
Adinda, ibunda yang ku ceritakan padamu ini
hanyalah satu dari sekian banyak orang yang tak mudah jatuh begitu saja. Ia
jatuh, bangun, jatuh, bangun, begitu seterusnya. Adinda, terkadang pertolongan
Allah datang saat kita benar-benar merasa begitu lemah, saat kita merasa hampir
saja putus asa, saat kita benar-benar pasrah padanNya dan merasa bahwa hanya
Dia yang dapat menolong kita.
Yang sedikit ku tekankan, adinda...kita
hanyalah pemain dari skenario yang telah Allah buat untuk kita. Dan Allah tak
mungkin salah memilih kita sebagai pemerannya. Sebab Dia lah Pencipta dan
Pencipta tau yang terbaik untuk yang diciptanya.
Yang harus kau ingat, adinda...belajarlah dari
sekelilingmu. Tak peduli darimana pelajaran itu datang. Sebab bagi mukmin,
hikmah itu terserak dimanapun. Seseorang pernah berkata, selayaknya kita
menjadikan setiap tempat adalah sekolah, maka selayaknya pula kita jadikan tiap
orang adalah sang guru. Dan kita lah murid yang tengah belajar menjadi lebih
baik.
Maka belajarlah, adinda...agar kau, aku, kita
semakin bijak hadapi tiap persoalan. Dan sertakan Allah di tiap desah nafas dan
jejak langkah kita.
Komentar
Posting Komentar