Langsung ke konten utama

Postingan

Surat Untuk Quthz #2

Qutz, Aku menyusuri kembali jalan-jalan di mana kita pernah menyejajari langkah kita sambil kau tak henti merapal kisah dan peristiwa. Di salah satu toko buku kau pernah memaksaku membeli Api Sejarah. Kupikir, untuk apa lagi aku membelinya jika setiap halaman dalam buku tersebut bisa kudengar darimu secara detil. Tapi kau tau, diam-diam aku membelinya. Benar, ada perasaan yang tidak kau temukan dibandingkan berkomunikasi langsung dengan sang penulis melalui tulisannya. Kupikir, itu hanya karena style belajarku dan belajarmu saja yg cukup sama. Orang lain bisa jadi tak sama dengan kita.  Hampir setahun. Toko buku di persimpangan sudah ada beberapa yg tutup.  Banyak yg hilang dari kita, Quthz. Bukan hanya tentang menghabiskan waktu di HB Jassin, Masjid Amir Hamzah, atau menghentikan angkutan umum dari Atrium, menyusuri Kramat Raya menuju perpustakaan Dewan Dakwah.  Yang hilang dari kita, menyegerakan amal atas ilmu yang sudah diketahui. Rasa-rasanya, aku rindu petang mu...
Postingan terbaru

Surat untuk Quthz #1

Quthz, ku notulensikan hasil percakapan kita semalam tentang 120 hari yang terlewat tanpa pertemuan, tanpa surat, tanpa kabar berita. Betapa bagi orang yang menunggu, waktu selalu terasa lebih lama. Pertemuan 2 jam itu, sebenarnya tidak cukup, Quthz. Tapi, atas hikmah-hikmah yang tersurat maupun tersirat dari lisanmu, rasa-rasanya bersyukur lebih bisa mendatangkan sakinah. Kekhawatiranmu dalam mengajar sebenarnya itu juga yang menjadi kekhawatiranku. Selama ini dibandingkan yang lain, kau pikir aku yang memiliki idealisme paling tinggi tentang mendidik? Betapa banyak orang-orang berpikir bahwa dunia Pendidikan adalah memang passionku. Quthz, bukankah jauh sebelum kita dipertemukan dengan dunia Pendidikan di mana kita menapakkan kaki di sini, aku sudah menyampaikan impianku tentang Pendidikan yang benar-benar menjadi prototype seorang muslim. Jauh sebelum kita mengenal tempat di mana kita menjejaki langkah kita di sini. Empat bulan mengajar di sekolah umum, membuatku banyak menan...

Menikah: Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Tiada terlihat indah lebih indah, bagi dua hati yang saling mencintai, yang semisal nikah. Tiada terdengar lebih tuah, bagi dua pribadi yang menikah, yang semisal berkah. Tiada terbaca lebih menjaga, bagi kedua jiwa yang berkah, yang semisal sakinah. Tiada teraba lebih membara, bagi dua sosok yang sakinah, yang semisal mawaddah. Tiada terasa lebih surga, bagi dua sosok yang mawaddah, yang semisal rahmah. Maka, di lapis-lapis keberkahan, rumah tangga surgawi itu menumbuhkan putra-putri berbakti yang mengenal Rabbnya, mentauhidkan Illahnya, memesrai kebersamaan dengan-Nya, menikmati ketaatan pada-Nya, bersumsumkan akhlaq mulia, dan bersendikan adab jelita. (Salim A Fillah)

Menang dan Kalah, Syuro dan Sabar

“…Karena jiwa tidak akan pernah menang, Dalam semua kecamuk perang, Kecuali setelah ia menang dalam pertempuran rasa, Pertarungan akhlak, dan pergulatan manhaj…” -Sayyid Quthb, Fii Zhilaalil Qur’an- Semakin banyak manusia berhimpun, maka akan semakin terlihat betapa beragamnya mereka. Perbedaan-perbedaan tak terelakkan baik dalam merasa, memperhatikan, memikirkan, menelaah, mengambil sikap, maupun bertindak. Maka hidup berjama’ah sekokoh janji, selalu memerlukan suatu ikhtiar agar perbedaan-perbedaan itu tak perlu mengguncang apalagi merenggangkan dekapan ukhuwah. “Perbedaan,” kata Ust. Anis Matta dalam Menikmati Demokrasi, “Adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjama’ah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan.” Nah, bagaimana mengelola perbedaan itu agar benar-benar menjadi kekayaan? Apakah Allah dan RasulNya menetapkan satu mekanisme untuk menyelesaikan soal ini? Dalam dekapan ukhuwah, mar...

Spesialisasi

Rasul nampak heran ketika ada seseorang dari kaum pembegal dengan kesadarannya sendiri menjadi orang kelima atau enam yang meraih iman. Rasul bahkan tidak mengenalnya ketika ia tiba-tiba datang, minta dibacakan Alquran dan tanpa basa-basi bersyahadat. Namun keislaman tidak seketika menguapkan gaya pembegal ala kabilah Ghifar dalam diri lelaki itu. Dia adalah orang pertama yang meneriakkan Islam di Masjidil Haram padahal Islam masih didakwahkan dengan bisik-bisik! Gara-gara aksi nekatnya itu ia dikeroyok hingga babak belur bahkan pingsan.  Ngeyel , saat siuman kalimat syahadat kembali meluncur dari lisannya. Demikianlah epik Jundub Bin Junadah alias Abu Dzar Alghifari melewati hari pertamanya menjadi muslim. Bertahun kemudian Abu Dzar terlihat di antara kepulan debu yang terbang karena hentakan kaki-kaki hewan tunggangan dan pejalan kaki. Andaikan kumpulan manusia itu tidak berulang meneriakkan takbir, warga Madinah mungkin akan menyangka pasukan Quraisy sedang menyerang mereka....

Move On

Kesedihan hanya menusuk sedalam yang kita izinkan! Duka atas kematian para shahabat dalam Perang Uhud tak menjadikan Rasul kehilangan kewaspadaannya terhadap musuh yang mungkin kembali menyerang. Setelah perang berakhir Beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membuntuti pasukan musyrikin dan menyelidiki pergerakan mereka. Kewaspadaan Rasul dan kemampuan beliau untuk memprediksi gerakan musuh terbukti akurat. Ali melaporkan bahwa pasukan musuh menunjukkan gelagat ingin menyerang Madinah. Esok harinya Rasul menyeru pasukannya untuk kembali berjihad. “Janganlah keluar bersama kami kecuali orang-orang yang ikut bersama kami dalam Perang Uhud kemarin!” Para shahabat segera menjawab seruan Rasul, termasuk mereka yang sedang terluka parah. Bahkan di antara mereka ada yang belum sempat memasuki rumahnya. Sami’na wa atha’na , kini tak seorang pun dari mereka yang berambisi untuk merebut ghanimah. Pasukan yang masih lemah itu lantas bergerak mengejar kaum musyrikin. Rasul tinggal di Ha...

Hidayah dalam Pusaran Amarah

Perang yang berujung kalah menang adalah hal biasa bagi Kafir Quraisy. Hanya saja kekalahan mereka di Perang Badar terasa jauh lebih pahit dari semua kekalahan. Para pembesar mereka tewas di tangan kaum rendahan menurut perspektif masyarakat jahiliyah. Abu Jahal dihabisi oleh Ibnu Mas’ud, seorang penggembala sekaligus keturunan budak. Umayyah bin Khalaf tewas di tangan mantan budaknya sendiri, Bilal bin Rabbah. Dada Shafwan bin Umayyah bin Khalaf dijejali dendam sehingga ia tak mampu lagi tersenyum. Ia merasa Perang Badar telah keluar dari tradisi perang yaitu seseorang berhadapan dengan orang yang sederajat. “Demi Allah tidak ada kebaikan dalam hidup ini setelah mereka mati,” katanya kepada Umair bin Wahb. Umair bin Wahb mengatakan bahwa bila bukan karena beban hutang dan keluarga ia tak akan segan membunuh Muhammad di Madinah. Shafwan berbinar, ia segera mengambil kesempatan. Shafwan mengatakan bahwa hutang dan keluarga Umair akan ia tanggung asalkan Umair berani mengeksekusi Mu...