Quthz, ku notulensikan hasil percakapan kita semalam tentang
120 hari yang terlewat tanpa pertemuan, tanpa surat, tanpa kabar berita. Betapa
bagi orang yang menunggu, waktu selalu terasa lebih lama.
Pertemuan 2 jam itu, sebenarnya tidak cukup, Quthz. Tapi,
atas hikmah-hikmah yang tersurat maupun tersirat dari lisanmu, rasa-rasanya
bersyukur lebih bisa mendatangkan sakinah.
Kekhawatiranmu dalam mengajar sebenarnya itu juga yang
menjadi kekhawatiranku. Selama ini dibandingkan yang lain, kau pikir aku yang memiliki
idealisme paling tinggi tentang mendidik? Betapa banyak orang-orang berpikir
bahwa dunia Pendidikan adalah memang passionku. Quthz, bukankah jauh sebelum
kita dipertemukan dengan dunia Pendidikan di mana kita menapakkan kaki di sini,
aku sudah menyampaikan impianku tentang Pendidikan yang benar-benar menjadi
prototype seorang muslim. Jauh sebelum kita mengenal tempat di mana kita
menjejaki langkah kita di sini. Empat bulan mengajar di sekolah umum, membuatku
banyak menangis. Beginikah sistem Pendidikan yang diterima anak-anak didik
kita? Salah satu sebab yang membuatku
tak menerima tawaran mengajar di sekolah se-Islam Terpadu apapaun itu.
Sampai akhirnya kita di sini, Quthz. Barangkali benar yang
dikatakan seorang bijak bahwa kita hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita
cari. Dengan skenario-skenario Allah yang menakjubkan, lepas, mengalir, tak terduga,
aku memilih di sini. Kekhawatiran itu pasti ada, Quthz. Tapi aku lebih
mengkhawatirkan tentang keadaan diriku, dengan keadaan iman yang masih
compang-camping, dengan keadaan sebagai seorang hamba yang masih tertawan
dosa-dosanya. Tapi aku ingat, Quthz, Allah selalu mengapresiasi sekecil apapun
perubahan baik hambanya. Dan bagaimana tidak merasa bersyukur, lingkungan di
tempat kita ada saat ini memfasilitasi upaya-upaya pengisian ruh kita? Maka,
segala was-was itu, berlindunglah kepada Allah, Qutz. Jangan sia-siakan.
Saatnya bergegas! Fafirruu ilallaah…
Qutz, semoga tetap istiqomah…
Komentar
Posting Komentar