Siang yang panas di kelas kami. Waktu menunjukkan
pukul 15.00 Waktu Madinatul Ilmi, itu artinya waktunya ganti jam pelajaran.
Muhadhoroh. Pelajaran yang kami nanti-nantikan sejak dari dalam kandungan
sampai ke liang lahat. *jiaahh…lebay ini mah. Sayangnya, guru kami tercinta,
Ustad Apriliza tak kunjung datang.
Denting jarum jam terus berbunyi. Iramanya mengikuti lagu
dangdut yang sedang hits akhir-akhir ini. Dimana…dimana…dimana…haha.
Raut-raut lumutan tergambar dari wajah para penghuni kelas . Tampang-tampang
lapar dan gak punya duit itu memandang memelas kea rah pintu masuk kelas
yang ditendang langsung jebol. Gelisah wajah-wajah penuh harap menunggu. Bukan
menunggu ustad April, tapi menunggu kalau-kalau Ustad Rudi masuk kelas kami dan
membawa kabar gembira bahwa kami bisa pulang cepat. Ah, sayang sekali. Tak ada
berita itu untuk hari ini, karena ternyata Ustad April baru saja sampai. Hilang
sudah harapan kami untuk pulang lebih cepat.
Ditunggu-ditunggu…Ustad April tak kunjung masuk kelas. Bosan
anak-anak menunggu. Laper, capek, lelah,lesu,letih,lunglai. Cuaca yang panas
ditambah suasana yang gak ngenakin membuat anak-anak tak bisa membedakan mana
suara perut keroncongannya Dede dengan suara buang gas nya Sofi yang
akhir-akhir ini sering terdengar di kelas.
Kebosanan itu segera terhapus dengan datangnya sesosok wajah
penuh lelah ke Kelas kami. Dengan salamnya yang damai tapi lantang, mengajak kami
untuk kembali bersemangat. Pelajarannya diawali dengan sebuah pertanyaan yang
membuat kami bingung.
“ Andaikata….” Suaranya penuh penekanan, “ di dunia ini,
semua orang pintar semua. Tak ada yang bodoh, apakah manusia masih membutuhkan
yang namanya guru?” tanyanya sambil memandang kami satu per satu.
Hening. Entah karena efek laper atau memang bener-bener gak
tau, tak ada yang berani menjawab. Sepertinya semua memikirkan hal yang sama.
Ya, apakah manusia masih membutuhkan guru disaat semua orang sudah pintar.
Tentu saja masih, tapi apa alasannya?
Hening. Dua orang mengajukan jawaban. Belum tepat. Hening
lagi. sampai keheningan itu dipecah oleh ustad April sendiri dengan jawaban
yang membuat kami menyadari betapa penting arti seorang guru.
“ Kalian tanpa guru ibarat Ikan tanpa air…” jelasnya dengan gaya
pidato yang ‘wah’, “ semahir apapun ikan berenang, air lah yang mengajarinya.
Semahir apapun ikan berenang, dia tak ada apa-apanya tanpa adanya air.”
“ Ingat, tiga orang yang wajib kau hormati di dunia ini.
Orang tua mu, guru mu ,”lanjutnya.
Lalu mengalirlah paparan demi paparan yang membuat kami
hanyut dalam pidatonya.
Orang Tua
“ Pernahkah ketika kalian sedang makan enak, kalian mikir: di
rumah, ibuku makan apa ya??”
Uhuk…ini pertanyaan nge-jleb banget . Secara kalau lagi makan, boro-boro mikirin orang tua di rumah, yang penting perut kenyang, hati
pun senang. Orang tua? Itu sih
belakangan. Ckckck…Tertawa kami. Bukan menertawakan tingkah dan perasaan kami,
tapi menertawakan kebodohan kami. Kebodohan kami yang seakan bahkan memang sama
sekali tak peduli dengan orang tua. Ah ya, pikiran kami melayang jauh ke rumah.
Membayangkan wajah-wajah orang tua kami, “ Pak, Bu, sedang apa disana? Sudah
makan kah?”
“ Kalian harus ingat, apabila kalian sukses, orang-orang
membanggakan kalian, mengelu-elukan namamu, berharap menjadi sepertimu dan
meridhoimu, tapi orang tua mu tidak meridhoi kalian, kesuksesan kalian tak ada
apa-apanya,”
“ Tapi sebaliknya, semua orang membencimu, menghinakanmu,
mengejekmu, tapi orang tuamu di rumah justru meridhoimu dan mengangkat namamu,
inilah kesuksesan sejati.”
“ Kalian harus tau, disaat saya mencubit kalian, menyakiti
kalian disini, ibu kalian di rumah merasakannya. Dan kalian harus tau, disaat
ibu kalian sedang makan enak di rumah, beliau tidak memakan itu sendirian, tapi
membagi makanan itu untuk kalian.”
Tes…tes…tes…ini bukan sedang ngetes mik, tapi tetesan air
mata yang jatuh ke pipi kami. Mengingat kembali apa yang sudah kami lakukan
untuk kedua orang tua kami. Mengingat bahwa sepertinya, jauuuuuhhhhhh sekali
kami dari bakti kepadanya. Robb…ampuni kami yang sering lupa, bahwa nun di
rumah kami disana, ada dua pintu syurga yang senantiasa mengajak kami untuk
memasukinya. Ya, dua pintu syurga itu adalah kedua orang tua kita. Robbighfirlii
waliwaalidayya warhamhuma kama robbayaanii shoghiiroo…
GURU
“ Pernahkah
kalian mendoakan guru kalian dengan menyebutkan namanya??” *plaaaakkkk
Nunduk, gak pernah,stad.
Eh, pernah ding, sekali. Itu juga doain guru yang udah meninggal.
“ Atau
pernahkah kalian merasakan kegelisahan ketika saat sudah masuk pelajarannya
tapi gurumu belum datang?* jlebbbb….
Nunduk lagi.
gak pernah,stad. Eh, pernah ding. Gelisah, harap-harap cemas. Bukan harap
untuk gurunya segera datang, tapi berharap sekalian aja gurunya gak datang.
“ Ingat,
sebesar apapun kalian, sehebat apapaun kalian, sesukses apapun kalian, kalian
tak ada apa-apanya tanpa jasa seorang guru. Maka, ketika nanti kamu sudah
menjadi mentri, professor, dosen, dan guru mu datang kepadamu dengan wajah
rentanya yang penuh cahaya ilmu, jangan sombong! Kamu bisa seperti itu karena
jasa gurumu.”
“ Ingat,
orang sombong itu bisa dilihat dari cara bicaranya, cara memandangnya, sikapnya
dan cara berjalannya.”
“ Guru
adalah yang memberikan ilmu kepadamu. Tapi bagaimana ilmu itu bisa berkah kalau
banyak diberitakan bahwa murid mendemo gurunya. Lalu, dimana letak keberkahan
ilmu itu?
Ya Allah…benteng
kesombongan, runtuh seketika. Muhasabah diri betapa selama ini kami kurang
begitu menghargai jasa seorang guru. Menurut kami, dengan membayar SPP saja itu
sudah cukup untuk membeli ilmu dari guru-guru kami. Padahal sampai kapanpun,
ilmu yang dicurahkannya itu takkan pernah terbayar dengan apapun bahkan meski
dengan uang SPP yang berjuta-juta.
Kembali
terngiang lagu yang sepertinya lama kami lupakan.
Engkau
sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau
laksana pembun penyejuk dalam kehausan
Engkau
patriot pahlawan bangsa…
Tanpa
tanda jasa…
Pada
akhirnya kami menyadari bahwa ternyata kesombongan telah membuat kami lupa,
bahwa kami yang sekarang ini adalah berkat jasa Kedua Orang tua kami dan
Guru-guru kami.
Saya
persembahkan cerita ini untuk para orang tua dan guru-guru hebat yang telah
melahirkan dan mendidik generasi-generasi hebat di dunia ini.
Muhasabah Jum’at Sore
Komentar
Posting Komentar