Ibunda, surat ini ku sampaikan padamu, atas kesyahidan
anak-anakmu pagi tadi, siang tadi, sore tadi, malam tadi, atau saat kau membaca
pembuka suratku ini, atau bahkan ketika kau membaca pertengahan suratku dan
kabar kesyahidan anakmu datang sedang kau segera bangkit, bukan untuk memaki,
bukan untuk menyerang bangsa batu itu dan menyuruhnya pergi dari tempat dimana
kau melahirkan anak-anakmu, dari tempat dimana kau tanamkan pada mujahid
kecilmu bahwa kemenangan itu adalah kepastian bagi orang-orang yang sungguh-sungguh
percaya padaNya, dari tempat dimana kau melihat sosok yang lain dalam diri
anak-anakmu saat mereka sudah mulai memegang batu. Kau bangkit untuk
mengucapkan selamat, selamat atas gelar kesyahidan yang telah anakmu capai.
Tentu...tentu meski dengan mata yang berkaca lalu perlahan kaca itu pecah
menjadi beningan kristal yang mengalir dan kau pun berkata dengan yakin “jangan
percaya pada air mata kesedihan anakku, air mata ini...adalah sungguh air mata
yang sama pada saat kau pecah tangismu pertama kali di dunia” dan kau kecup
anakmu dengan kecupan yang sama saat pertama kali kau mengecupnya dalam
gendonganmu dahulu.
Ibunda, Sesungguhnya surat ini kutulis padamu saat
gerimis mengawali pagi ini, dengan secangkir susu dan sepotong roti yang
disiapkan ibu untukku. Sedang aku tau kau mengawali dini harimu mungkin dengan
suara-suara desingan roket, sapaan wajah-wajah najis yang tak tahu malu
menginjak rumahmu dengan sepatu larsnya yang bernajis, menodongkan kau dengan
senjata mereka yang juga najis. Kanak-kanak berlindung dibalikmu sambil
berteriak, “ummi, apakah mereka akan menangkap kita sebagamana mereka menangkap
ayah? Apakah mereka akan membunuh kita sebagaimana mereka membunuh Ummu Ayyub?
Ummi, mengapa mereka semakin jahat saja?” dan jawabmu “Allahu ma’ana, anakku.
Bukankah semakin gelap berarti semakin dekati fajar? Kuatkan kesiapsiagaanmu,
kuatkan kesabaranmu.” Sedang anakmu yang
lain menghadang ‘kera’ yang kelaparan itu dengan dadanya. Matanya menyorot
tajam, sorotan yang seringkali membuat bangsa ‘kera’ yang kelaparan itu lari
pontang-panting. Tapi tidak, bangsa ‘kera’ kelaparan itu memang terlalu
pengecut. Untuk membunuh seorang anak kecil saja ia terlalu takut. Mengerahkan beruntutan
peluru. Anakmu syahid, bunda...dipangkuanmu. Ditangannya tergengganm batu yang
sepulang sekolah tadi ia pungut di jalan dan dikumpulkan di dalam tas nya. Tapi
lihatlah, bunda...bukankah ia memang adalah seorang anak kecil yang sedang
tidur dengan senyumnya meski berlumuran darah. Senyum itu, bunda...bukankah kau
yang lebih tau? Senyum itu , bunda...mungkin senyum atas sambutan para bidadari
kepada anakmu. Meski begitu, air mata nampaknya memang tak bisa berbohong,
Bunda. “tetes air mata ini, Nak...sungguh terlalu mahal untuk dikeluarkan hanya
untuk meratapi kesedihan. Sungguh air mata ini harus dibayar dengan darah
mereka yang haus darah. Negeri ini tak akan pernah kehabisan pejuang. Justru
akan semakin tumbuh dan membalas perbuatan mereka dengan lebih
menyakitkan...sebab di tubuh mereka lahir darah pejuang yang tak rela
diinjak-injak. Sebab tanah ini adalah tanah pejuang, yang kan lahirkan
mujahid-mujahid yang tak takut tegakkan kebenaran”
Bunda, saat surat ini sampai padamu, mungkin entah
sudah berapa anak-anakmu menjadi syuhada. Mungkin satu(ah, tapi rasanya tak
mungkin jika hanya satu), lima, sepuluh, lima puluh, seratus, seribu, sepuluh
ribu atau mungkin lebih. Kau tentu lebih tau, Bun. Saat surat ini sampai
padamu, mungkin diluar sana anakmu dengan gagah berani mengahadang tank-tank
bangsa “kera” kelaparan itu dan menimpukinya dengan kerikil-kerikil batu yang
melayang, tepat sasaran, terpecah, dan kembali jatuh ke bumi, untuk meyakinkan
bahwa anakmu bisa menggunakannya kapan saja ia mau sebab batu-batu itu tak akan
pernah habis. Tapi aku tertawa heran mengapa kecilnya batu bisa membuat
gerombolan ‘kera kelaparan’ itu ketakutan. Katamu disampaikan angin: sebab
kekuatannya itu...bukan terletak pada batu-batu, tapi pada kokohnya keyakinan
si pelempar. Sebab batu-batu itu, bukan mereka saja yang melempar, tapi ada
ribuan malaikat yang juga turun tangan”
Bunda, surat ini mungkin akan segera melayang hilang,
atau menemui satu per satu para ibunda, hanya ingin menyampaikan pada ibunda
bahwa kami belajar banyak dari seribu drama tragedi yang ibunda lewati, bahwa
keyakinan padaNya adalah pondasi.
Bunda, kuakhiri surat ini pada satu petang yang masih
menyisakan gerimis sore tadi, sedang layar televisi masih saja menyisakan
sejuta dusta, sejuta keegoan negeri kami. Tentang pesta pernikahan yang
mengundang takjub, tentang para muda yang berjalan pongah di sebuah mall,
tentang bau busuk kata-kata penguasa, tentang Udin yang mati kelaparan siang
tadi disamping sebuah restoran termewah, tentang Toto yang terlanjur mati di
emperan rumah rumah sakit tersebab tak diizinkan masuk karena ayahnya hanya
miliki uang dua ribuan bekas kembalian obat warung, tentang sarjana-sarjana
pengangguran yang menunggu antrean pekerjaan, tentang janji-janji penguasa yang
tenggelam di lumpur.
Tapi, Bunda...di negeri kami masih banyak yang peduli
meski tak seorangpun tau, tapi masih banyak di negeri kami mujahid-mujahid
tanah air yang begitu tulus dan kokoh. Bunda, Maafkan kami yang hanya bisa
merutuki tanpa memberi arti, maafkan kami yang terlalu ego pada diri, maafkan
kami yang menjadikan anak-anakmu sebagai tebusan.
Surat ini kutulis untukmu, Bunda...seraya berdoa agar
miliki kesejatian cinta ibunda para syuhada.
Tangerang
Selatan, Subuh biru
Komentar
Posting Komentar