Bagaimanapun takdir ibarat anak panah bagi seorang pemanah,
ia akan diarahkan pada sasaran, namun tidak menutup kemungkinan bahwa akan
ada angin yang akan membawa anak panah itu jauh dari sasaran, tapi selalu
yakinlah bahwa angin itu akan membawa anak panah yang kita busurkan itu ke arah
yang lebih tepat.
“Tapi aku tidak mau di UIN bu, aku mau setidaknya
UI.”
Hari-hari menjelang pendaftaran masuk perguruan
tinggi, ketegangan antara aku, bapak, ibu dan kakak-kakak masih berlanjut. Ibu. Ibu
yang meski dengan lembutnya, menginginkan anaknya ini agar kuliah di UIN saja.
Jarak. Karena jarak yang dekat.
Hari-hari berlalu, dengan berbagai pertimbangan
dan pengertian, aku mengaminkan mau ibu.
Hari-hari selanjutnya adalah pendaftaran, sengaja
kupilih pendaftaran jalur SBM PTAIN, dengan harapan tidak diterima sebab aku
tau kebanyakan yang daftar di jalur ini kebanyakan yang latar belakang mereka
pondok atau madrasah. Saat tes, persiapanku hanya belajar-belajar soal-soal
dari NF yang aku tahu betul soalnya pasti beda. Ibu begitu siap, dari malam
sudah memberiku wejangan berbagai macam, pun pagi saat aku salaman.
Mengerjakan
soal-soal-soal yang dibagikan panitia. Aku tertawa melihat soal-soalnya,
terlebih soal agama, aku senyum-senyum saja mengerjakannya. Bukan senyum paham,
tapi senyumin kebodohan diri ini akan banyak tidak tahunya dalam soal agama.
“Ngambil jurusan apa aja?” banyak orang bertanya
penasaran. Bukan, ini pertanyaan biasa sebenarnya. Daftar dimana, jurusan apa,
biasa bukan. Karena itulah aku tak ingin menjawab dengan jawaban yang biasa
saja.
“Pilihan pertama Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, pilihan kedua Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia?”
Dan terbukti, jawabanku yang tidak biasa itu
membuat mereka shock tak percaya.
“Kenapa?”
Ini soal passion. Dan di UIN, hanya jurusan itu
yang kumau. Jawabanku untuk siapapun yang ingi tahu.
Keluargaku baru menyadari aku daftar lewat jalur
tersebut, dan mereka meragukan, tak yakin aku bisa lulus jalur itu. Mandiri
lebih banyak peluang, begitu kata mereka. Aku tersenyum kecut, justru
ketidaklulusan itu yang kuharapkan. Pengumuman PTAIN adalah saat pendaftaran
jalur mandiri sudah tutup dan aku disuruh ikut serta daftar jalur mandiri.
“Aku p asti lulus jalur itu
kok, ga usah daftar lagi. Sayang uang dan Biar kuotanya untuk orang lain”
sedikit sombong, padahal aku sendiri tak yakin.
Mereka bersikeras memintaku untuk daftar mandiri
juga. Baiklahhh...toh bukan pakai uangku juga. Tapi bagaimana jika aku
diterima? Ketakutan yang aneh. Takut diterima.
Dan ketika mendaftar, aku masih bandel memilih jurusannya. Piihan pertama
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pilihan kedua Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Aku senyum-senyum sendiri ketika mengetiknya. Gila, komentar
temanku. Daripada gila karena kuliah tak sesuai jurusan yang diinginkan?
Mending mana?
Pengumuman tiba, berturut-turut. Jalur PTAIN
kemudian mandiri. Dan aku diterima di keduanya dengan jurusan yang sama. Lulus
SBM PTAIN di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, lulus Mandiri di
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kali ini bukan senyum, tapi
tertawa.
Dan kini, aku semester 4. Bersemangat membahas
tentang pendidikan, kajian puisi, sastra bandingan, sejarah sastra, mengkaji
novel, puisi, ahh...adakah yang lebih indah dibandingkan mempelajari apa yang
kita sukai?
Disini, aku semakin bersyukur disini. Mulai merela
universitas yang dulu sempat aku inginkan. Mulai memahami betapa banyak hikmah
yang Allah beri disini. Terima kasih
terutama untuk ibu, maafkan anakmu ini yang dulu seringkali menganggapmu tak
mengerti keinginan anakmu ini. Terima kasih, membebaskan pilihan jurusanku.
Teringat seorang teman bercerita, “aku sebenarnya ingin sekali di sastra Jawa,
tetapi ayah ibuku tak membolehkan” Terima kasih telah memberi pemahaman dengan
bahasa paling puisi. Aku baru tau, kecintaanku kepada sastra ternyata dari ibu.
Bahasa ibu kalau cerita seringkali sastra syekalii...
Mei, 2015
Komentar
Posting Komentar