Kalian percaya
dengan segala hal yang bernama “kebetulan”? Kalau saya, boleh saya tidak
mempecayainya? Sebab menurut saya segala kejadian dalam hidup ini,
besar-kecilnya, menarik-tidaknya, pahit-manisnya, terkenang-tidaknya, semua
sudah rencana sang pemilik seindah rencana. Dia, yang tanpa-Nya, siapalah kita.
Kau bisa mengatakan orang-orang yang setiap hari berlalu-lalang, selintas lewat
di hadapanmu, yang hanya menjadi ‘pemeran figuran’ ketika kau berjalan
terburu-buru sambil melihat jam di pergelangan tanganmu, yang jangan pun sempat
menyapa, tersenyum pun enggan, yang sama-sama duduk berhadapan denganmu dalam
sebuah angkutan umum, atau antrian loket di stasiun kereta atau ketika kalian
sama-sama menerobos hujan dengan jaket ataupun tas kuliah kalian yang kalian
gunakan untuk menutup kepala. Kalian saling tak kenal, hanya berlari di tempat
dan momen yang sama, usaipun kalian pergi masing-masing tuju tempat yang
berbeda. Kalian percaya itu sebuah kebetulan?
Saya tak percaya. Sebab bagi saya,
mereka sengaja dihadirkan oleh sang Sebaik Pembuat Skenario untuk kita. Apapun
peran mereka.
Beberapa waktu lalu
saya tidak lolos dalam seleksi tahap 2 pada salah satu forum pemuda Indonesia
berbagi. Biasa saja. Saya sudah cukup sering ditolak *nangisdipojokan* oleh
penerbit yang padahal belum tau saja mereka siapa saya (emang kamu siapa, El?)
sampai akhirnya ada beberapanpenerbit yang insyaf (baca: terpaksa) untuk
menerbitkan tulisan saya, entah karena kasian atau karena melihat dengan
kacamata paranormal kalau makhluk seperti saya ini langka, jadi mesti
dilestarikan ala-ala keanekaragaman hayati.
Seindah-indah
rencana kita, rencana Allah jauh lebih indah dari yang kita bayangkan. Saya
percaya. Seorang teman pernah berkata,
“jika gagal dalam sebuah tuju yang kau rencanakan, bersyukurlah. Sebab itu bisa
mengurangi daftar kegagalanmu yang kau tak tau berapa daftar kegagalanmu. Tapi,
bersyukur saja, itu artinya, satu daftar kegagalanmu sudah berkurang” Lucu
memang, sekilas saya membayangkan sebuah kitab yang berisi daftar kegagalan
seorang fulan, lalu ketika ia bersedih dengan kegagalan atas apa yang ia
citakan sesungguhnya malaikat sudah mencoret satu per satu list kegagalannya
hingga lambat-laun kegagalan seorang fulan ini semakin sedikit.
Malam itu, entah
saya tak tahu bagaimana caranya, sebuah informasi terpampang di beranda media
sosial yang saya geluti sejak SMP. Sebuah informasi yang ketika membacanya,
mata saya berbinar. Pendaftaran untuk School For Nation Leader- Sekolah
Kepemimpinan Bangsa. H-2 pendaftaran ditutup. Tak ingin maju sendiri, saya
share info tersebut ke beberapa teman. Esoknya saya segera mengisi form online
di websitenya. Sambil mempersiapkan essay yang memang menjadi salah satu
pesyaratan pendaftaran. Sebuah essay tentang apa yang sudah kita lakukan untuk
sekitar kita dan apa gagasan kita untuk Indonesia 2045, jadilah. Entah apakah
tulisan saya tersebut bisa disebut sebagai essay atau bukan. Saya juga tak tahu
pasti.
Maghrib itu hujan.
Saya di warnet saat itu. Maghrib di malam pendaftaran terakhir acara tersebut
dan saya belum memenuhi satu syarat lagi: rekomendasi dari tokoh
kampus/masyarakat. Tapi tekad saya sudah bulat untuk mendaftar di acara
tersebut. Dengan gerimis petang yang sampai sekarang masih menyisakan kenangan,
terlebih genangan. Sepanjang perjalanan memikirkan apakah kiranya tetap pada
rencana, meminta rekomendasi pada tokoh masyarakat yang hendak saya tuju.
Rasanya tak mungkin malam begitu, dan saya belum memberitahu beliau sebelumnya.
Bersama kesulitan, ada kemudahan. Pernah mengalami suatu kejadian tentang
citamu, yang kau begitu menggebu untuk mengaminkannya? Pernah mengalami satu
kejadian, ketika kau begitu merasa menggebu dan ternyata apa yang kau cita,
yang kau tunggu tak kunjung menyata, tak juga berbuah hasil? Disaat kau begitu
menggebu agar hal yang kau perjuangkan itu menyata. Menyakitkan, bukan? Tapi,
pernah kau sadari? Atau pernah kau mengalaminya? Ketika kau sudah begitu yakin
memperjuangkannya, cita itu tak kunjung menjadi, engkau lelah, engkau payah,
sakit rasa tapi pada akhirnya kau rela...kau lepas dan kau serah pada seru
sekalian alam. Rabb mu, bahkan mungkin sampai kau lupakan. Dan selang beberapa
waktu, hal yang dulu kau perjuangkan itu menyata, setelah kau mengikhlaskannya,
bahkan melupakannya. Atau pernah mengalami satu kejadian, saat kau merasa
betapa tak ada apa-apanya, ketika kau benar-benar merasa bahwa tak ada siapapun
yang menolongmu, kecuali Dia. Lalu kau bersujud dalam-dalam, dalam
rokaat-rokaat panjang. Kau adukan semuanya, saat kau merasa begitu lemah dan
hanya kuasaNya yang bisa menolongmu. Dan mungkin benar, bahwa seringkali pertolongan
Allah datang saat kau merasa benar-benar lemah, saat kau benar-benar merasa
bahwa tak ada yang bisa menolongmu kecuali Dia saja.
Dan begitulah jalan
seorang saya untuk mengikuti School For Nation Leader ini. Seorang kakak yang
berpengaruh di kampus berkenan memberikan rekomendasi.
Dan, disinilah saya
dipertemukan dengan kawan-kawan mahasiswa dari berbagai Universitas di
Indonesia untuk belajar bersama, yang motto kami adalah “Belajar Merawat
Indonesia”. Sebuah kebetulan? Tentu bukan. Saya percaya, Allah hendak memberi
saya kesempatan belajar dari orang-orang yang bukan saya. Belajar untuk
meyakini bahwa segelap apapun kondisi kita, dibanding terus merutuki kegelapan,
menyalakan lilin adalah lebih baik. Belajar untuk meyakini bahwa betapa bahagianya
ketika kita menjadi inspirasi kebaikan untuk orang-orang di sekitar kita.
Sekecil apapun. Belajar untuk meyakini bahwa diatas yang berpengetahuan, masih
ada yang lebih berpengatahuan. Belajar untuk merawat Indonesia, belajar menjadi
negarawan sejati, dimanapun posisi kita. Semangat yang kuat, tekad baja,
spiritual yang mengejawantah dalam laku-laku kebaikan, ada disini. Dari
kawan-kawan yang menginspirasi. Dan dari sini pula, kami mengokohkan barisan
untuk menjadi pemuda-pemuda penggagas peradaban dunia. Yang mengambil cinta
dari langit, dan menebarkannya ke bumi. Agar jangan sampai kelak dikatakan, “Di
kalangan pemuda Indonesia, tak ada lagi mereka yang peduli dengan bangsanya”,
agar jangan sampai dikatakan “di kalangan pemuda Indonesia tak ada lagi mereka
yang mau berkorban untuk bangsanya”, tetapi agar kelak dikatakan “Lihatlah,
betapa Indonesia patut berbangga memiliki pemuda seperti mereka. Yang tetap
kokoh disaat yang lain goyah, yang tetap berdiri teguh disaat yang lain hanya
memikirkan diri sendiri, yang yang ide-ide kebaikannya mengejawantah dalam laku”
Yang kami tahu,
sebagian sejarah perjuangan bangsa ini telah ditorehkan oleh pemuda-pemuda
sebelum kami. Maka ya Allah, izinkan kami mengukir sejarah ke depannya dengan
tinta emas perjuangan kami.
Inilah Kami:
Negarawan
Muda Indonesia!

Komentar
Posting Komentar