Apa kabar, Ray? Bukankah jawabanmu adalah selalu
baik-baik saja. Menjawab dengan senyum terindah yang kau miliki. Menjawab
dengan usapan tanganmu yang lembut di kepalaku. Untuk meyakinkan bahwa kau
baik-baik saja. Bahkan disaat kritismu.
Apa
kabar, Ray? Hujan Februari masih saja sama. Langit kelabu dengan rintik airnya
yang hanya berhenti pada beberapa saat saja.
Hanya bedanya, tak ada lagi kau disini, Ray. Tak ada lagi kulihat seorang laki-laki yang berusia 21 tahun menyambut gembira kedatangan hujan dan terkadang menjadi sosok yang begitu menakjubkan. Bermain dibawah hujan dengan wajah ceriamu. Bukankah aku selalu menolak jika kau menarik tanganku untuk ikut bersamamu? Tak jarang kau mengajakku berdansa di bawah siraman air hujan. Dansa? Dibawah hujan? Sekilas Nampak romantic, tapi bagiku yang dari kecil terbiasa dengan paradigma - hujan-hujanan akan membuat dirimu sakit- menganggap sikapmu benar-benar konyol, childish.
Hanya bedanya, tak ada lagi kau disini, Ray. Tak ada lagi kulihat seorang laki-laki yang berusia 21 tahun menyambut gembira kedatangan hujan dan terkadang menjadi sosok yang begitu menakjubkan. Bermain dibawah hujan dengan wajah ceriamu. Bukankah aku selalu menolak jika kau menarik tanganku untuk ikut bersamamu? Tak jarang kau mengajakku berdansa di bawah siraman air hujan. Dansa? Dibawah hujan? Sekilas Nampak romantic, tapi bagiku yang dari kecil terbiasa dengan paradigma - hujan-hujanan akan membuat dirimu sakit- menganggap sikapmu benar-benar konyol, childish.
“ coba Ubah paradigm lamamu,. Tidakkah kau mau merasakannya? Ah, aku yakin dari
kecil kau terbiasa dengan paradigm itu, padahal kamu mau. Iya kan?”
Meski
aku membenarkan kata-katanya, namun itu semua tak mengubah pendirianku.
Apa
kabar, Ray? Langit begitu mendung. Aku masih saja menatap pusaramu yang masih
merah dan basah tanahnya. Sebulan lalu,
aku tak percaya bahwa aku menyaksikan pemakamanmu di tempat ini. Sebulan lalu,
bukankah 2 tahun lalu pada tanggal itu kau memintaku dengan amat sangat untuk
turun bermain hujan. Saat itulah kau membisikkan sesuatu yang membuat hatiku berdesir hebat, wajahku
menunduk malu, melihat ke wajahmu yang begitu bersungguh-sungguh. Dalam
hitungan detik aku mengangguk. Ku lihat kau membelakangiku, bersujud.
“
Tapi aku ingin kamu janji, setelah ini tak ada lagi Ray bodoh yang dengan
sengaja bermain hujan-hujanan?”
Ku
lihat binar matamu meredup, tapi segera menyala lagi dan dengan yakin kau
menyanggupi.
“
Ada lagi, Tuan Puteri?”
“
Itu saja,”
Senyummu
merekah, kau raih tanganku. Sebuah cincin kau masukkan di jariku.
Aku
tersenyum. Kau tersenyum.
Tepat
setahun setelah itu, bukankah itu adalah hari kita? Kau tak mungkin lupa dengan
hari bersejarah itu, bukan? Aku masih ingat betul, bagaimana kau mengucapkan
akad itu, lalu kita bersanding. Menjadi Raja dan Ratu sehari.
Apa
kabar, Ray? Aku masih ingat betul gayamu saat musim hujan tiba kembali.
Melihatmu berlari mencoba Menghindari hujan dengan menutupi
kepalamu dengan tas. Tas kerjamu yang sengaja kau buat kosong.
“ Aku heran, mengapa setiap aku pulang
kerja, selalu saja hujan,” begitu alasanmu.
Aku menggeleng-geleng kepala sambil melempar handuk. Handuk yang
segera basah sebab aku tau, kau memang sengaja hujan-hujanan.
Kau tau, kalau aku tau ulahmu.
“ Kau akan bilang payung yang ku
bekali untukmu tertinggal lagi entah dimana? Lalu kau tak berteduh karena kau
ingin segera pulang bertemu dengan istrimu yang cantik ini. Iya kan?”
Kau terkekeh mendengar aku begitu
hafal dengan kata-katamu.
Ah, Ray. Aku tak marah karena kau
ingkari katamu untuk tak bermain hujan. Kau mencintai hujan. Kau memang
ditakdirkan bersama hujan.
(mungkin) berlanjut...
ditunggu lanjutan kisah ray si pecinta hujan ya de, yg cepet updatenya
BalasHapus