Ada hal yang harus saya syukuri di usia saya sampai saat ini dan semoga dengan kesyukuran ini Allah menjaga nikmat tersebut dan menetapkan saya untuk bisa Istiqomah. Aamiin.
Nikmat yang saya maksud tersebut adalah kenikmatan mempunyai prinsip tidak pacaran. Yang saya ingat, keluarga saya menanamkan hal itu dari usia saya masih kanak-kanak. "Pacaran itu tidak ada dalam Islam. Itu sama saja mendekati zina." Kalimat ini terkonsep semakin matang ketika buku-buku yang disajikan kepada saya adalah novel-novel Islami bermuatan dakwah yang didalamnya terselip amanah-amanah dari ayat bahwa kita tidak boleh mendekati zina dan pacaran termasuk salah satu cara untuk mendekati zina. Juga pesan-pesan untuk mempersembahkan cinta itu kepada Allah saja. Inilah yang membuat saya tidak tertarik sama sekali untuk mengikuti jejak teman-teman saya yang pacaran bahkan saya miris melihatnya. Saat itu juga saya berpikir, "gimana umat mau bangkit kalau anak-anak Islamnya pacaran". Anak SD, men. Mikir beginian. Saya ngerasa benar-benar terasingkan. FYI, ketika saya SD, budaya pacaran itu sudah berkembang dan menjadi hal yang biasa. Tapi dulu mah pacarannya cuma nembak-ngasih coklat-diterima-terus dicie-ciein sama teman sekelas setiap harinya. Udah. Ga jelas banget emang. Ya emang kaga jelas.
Setiap kali teman-teman saya bertanya kenapa sih saya gak mau pacaran saya jawab dengan jawaban seperti yang saya sebutkan di atas. Ada teman dekat saya yang mengatakan bahwa seorang teman kami menyukai saya dan menanyakan ini kepada teman dekat saya. Saya katakan kepada teman dekat saya ini untuk menyampaikan, "dia menyukai saya, itu boleh saja. Tapi tolong bilang, ya. Aku punya prinsip gak pacaran. Karena dalam Islam ga ada kata Pacaran." Mungkin teman-teman saya tidak mengerti hal ini dan mereka mungkin akan bilang "helooo...lu ga asik banget. Mikir lu ketuaan!" Dan saya gak peduli. Saya hanya ingin menjaga diri saya dan menjaga dia tentunya. Ini harus ditegaskan. Kalau tidak, akan muncul toleransi-toleransi yang kebablasan. Itu sebab saya tegaskan dan tidak menutup-nutupi dengan kata-kata, "maaf ya,kita masih kecil. Ga boleh pacaran." Saya gak mau jawab gitu, saya ingin mereka mengerti bahwa ini adalah perintah Allah.
Atas hal-hal yang demikian, dengan "ketuaan-ketuaan" pemikiran saya, saya tidak punya teman yang benar-benar dekat ketika SD. Pun saya sangat menjaga interaksi saya terhadap lawan jenis saya. Berbicara kepada mereka untuk hal-hal yang diperlukan. Dengan sikap saya seperti ini juga, teman laki-laki saya akhirnya mengikuti ritme saya. Tidak bicara dan tidak bersikap seenaknya kepada saya sebagaimana mereka lakukan kepada teman-teman perempuan lainnya.
Pun ketika saya SMP. Saya berusaha mengenal baik teman-teman dari berbagai kelas yang berbeda. Saya bergabung ke berbagai organisasi sekolah dengan tetap menjaga interaksi kepada lawan jenis. Bahkan ketika saya mendapat posisi paling dekat dengan seseorang yang pertama kali saya suka. Saya berusaha untuk merahasiakannya. Sampai sekarang, tidak ada laki-laki yang akrab dengan saya kecuali itu adalah bapak, Abang, dan sepupu saya.
Saya berhusnuzhan bahwa ini adalah doa dari orang tua saya. Alhamdulillah sampai saat ini, ketika ada celah-celah untuk berduaan dengan lawan jenis, Allah memberi penghalangnya dengan mengingatkan bahwa berduaan akan membuka celah pintu setan. Bahkan sampai Allah mengirimkan langsung orang yang menemani. Hal yang membuat saya merasa berterima kasih sekali kepada-Nya.
Kisahnya adalah ketika saya hendak pergi ke Solo untuk sebuah acara kongres. Saat itu kami (saya, kakak kelas, dan beberapa teman dari kampus lain berencana berangkat bersama.) Kami sudah memesan tiketnya. Waktu izin ibu saya bertanya dengan siapa saya berangkat. Saya katakan dengan beberapa fulanah dan beberapa Fulan. Karena tentu kalau hanya dengan Fulan, saya tidak akan diizinkan. Di Hari H, qadarullah, saya telat ke stasiun karena ada presentasi di kampus hingga lewat batas waktu. Akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat duluan tetapi ada seorang Fulan yaitu kakak kelas saya yang tidak tega jika saya berangkat sendiri. Dia memutuskan untuk menunggu saya. Meski itu berarti tiket dia pun ikut hangus. Sesampainya di sana sebenarnya saya teringat dengan perkataan saya kepada ibu saya bahwa saya berangkat dengan beberapa kawan. Selain itu saya tahu, ini tidak baik. Saya belum pernah berpergian berdua dengan kawan laki-laki. Jangankan berpergian, diajak makan pun saya meminta teman saya untuk menemani. Di tengah kegalauan saya memesan tiket ganti, HP saya berdering. Nomor seorang teman dari kampus sebelah yang akan ikut juga tapi dia tidak bergabung dengan rombongan kami.
"El?"
"Iya, mba?"
"Aku dapat info El telat keretanya juga, ya?"
"Iya, mba."
"Bisa bareng ga El. Aku juga telat nih. Harusnya tadi jam 12, tapi adikku sakit jadi baru bisa ditinggal sekarang."
Allah....betapa skenario Allah begitu menakjubkan.
"Jadi mba, adik mba sakit biar mba telat ke stasiun karena mba suruh nemenin aku biar ga pergi berdua sama mas Fulan."
"Oh ya? Aku malah mikir, El disuruh telat sama Allah biar aku ga berangkat sendiri dalam safar ini."
Kami pun tertawa.
Begitulah cara Allah menjaga hamba-Nya. Maka semoga kita selalu bersyukur dengan berusaha menjaga diri kita.
Wallahu a'alam. Baarokallahufiikum.
Nikmat yang saya maksud tersebut adalah kenikmatan mempunyai prinsip tidak pacaran. Yang saya ingat, keluarga saya menanamkan hal itu dari usia saya masih kanak-kanak. "Pacaran itu tidak ada dalam Islam. Itu sama saja mendekati zina." Kalimat ini terkonsep semakin matang ketika buku-buku yang disajikan kepada saya adalah novel-novel Islami bermuatan dakwah yang didalamnya terselip amanah-amanah dari ayat bahwa kita tidak boleh mendekati zina dan pacaran termasuk salah satu cara untuk mendekati zina. Juga pesan-pesan untuk mempersembahkan cinta itu kepada Allah saja. Inilah yang membuat saya tidak tertarik sama sekali untuk mengikuti jejak teman-teman saya yang pacaran bahkan saya miris melihatnya. Saat itu juga saya berpikir, "gimana umat mau bangkit kalau anak-anak Islamnya pacaran". Anak SD, men. Mikir beginian. Saya ngerasa benar-benar terasingkan. FYI, ketika saya SD, budaya pacaran itu sudah berkembang dan menjadi hal yang biasa. Tapi dulu mah pacarannya cuma nembak-ngasih coklat-diterima-terus dicie-ciein sama teman sekelas setiap harinya. Udah. Ga jelas banget emang. Ya emang kaga jelas.
Setiap kali teman-teman saya bertanya kenapa sih saya gak mau pacaran saya jawab dengan jawaban seperti yang saya sebutkan di atas. Ada teman dekat saya yang mengatakan bahwa seorang teman kami menyukai saya dan menanyakan ini kepada teman dekat saya. Saya katakan kepada teman dekat saya ini untuk menyampaikan, "dia menyukai saya, itu boleh saja. Tapi tolong bilang, ya. Aku punya prinsip gak pacaran. Karena dalam Islam ga ada kata Pacaran." Mungkin teman-teman saya tidak mengerti hal ini dan mereka mungkin akan bilang "helooo...lu ga asik banget. Mikir lu ketuaan!" Dan saya gak peduli. Saya hanya ingin menjaga diri saya dan menjaga dia tentunya. Ini harus ditegaskan. Kalau tidak, akan muncul toleransi-toleransi yang kebablasan. Itu sebab saya tegaskan dan tidak menutup-nutupi dengan kata-kata, "maaf ya,kita masih kecil. Ga boleh pacaran." Saya gak mau jawab gitu, saya ingin mereka mengerti bahwa ini adalah perintah Allah.
Atas hal-hal yang demikian, dengan "ketuaan-ketuaan" pemikiran saya, saya tidak punya teman yang benar-benar dekat ketika SD. Pun saya sangat menjaga interaksi saya terhadap lawan jenis saya. Berbicara kepada mereka untuk hal-hal yang diperlukan. Dengan sikap saya seperti ini juga, teman laki-laki saya akhirnya mengikuti ritme saya. Tidak bicara dan tidak bersikap seenaknya kepada saya sebagaimana mereka lakukan kepada teman-teman perempuan lainnya.
Pun ketika saya SMP. Saya berusaha mengenal baik teman-teman dari berbagai kelas yang berbeda. Saya bergabung ke berbagai organisasi sekolah dengan tetap menjaga interaksi kepada lawan jenis. Bahkan ketika saya mendapat posisi paling dekat dengan seseorang yang pertama kali saya suka. Saya berusaha untuk merahasiakannya. Sampai sekarang, tidak ada laki-laki yang akrab dengan saya kecuali itu adalah bapak, Abang, dan sepupu saya.
Saya berhusnuzhan bahwa ini adalah doa dari orang tua saya. Alhamdulillah sampai saat ini, ketika ada celah-celah untuk berduaan dengan lawan jenis, Allah memberi penghalangnya dengan mengingatkan bahwa berduaan akan membuka celah pintu setan. Bahkan sampai Allah mengirimkan langsung orang yang menemani. Hal yang membuat saya merasa berterima kasih sekali kepada-Nya.
Kisahnya adalah ketika saya hendak pergi ke Solo untuk sebuah acara kongres. Saat itu kami (saya, kakak kelas, dan beberapa teman dari kampus lain berencana berangkat bersama.) Kami sudah memesan tiketnya. Waktu izin ibu saya bertanya dengan siapa saya berangkat. Saya katakan dengan beberapa fulanah dan beberapa Fulan. Karena tentu kalau hanya dengan Fulan, saya tidak akan diizinkan. Di Hari H, qadarullah, saya telat ke stasiun karena ada presentasi di kampus hingga lewat batas waktu. Akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat duluan tetapi ada seorang Fulan yaitu kakak kelas saya yang tidak tega jika saya berangkat sendiri. Dia memutuskan untuk menunggu saya. Meski itu berarti tiket dia pun ikut hangus. Sesampainya di sana sebenarnya saya teringat dengan perkataan saya kepada ibu saya bahwa saya berangkat dengan beberapa kawan. Selain itu saya tahu, ini tidak baik. Saya belum pernah berpergian berdua dengan kawan laki-laki. Jangankan berpergian, diajak makan pun saya meminta teman saya untuk menemani. Di tengah kegalauan saya memesan tiket ganti, HP saya berdering. Nomor seorang teman dari kampus sebelah yang akan ikut juga tapi dia tidak bergabung dengan rombongan kami.
"El?"
"Iya, mba?"
"Aku dapat info El telat keretanya juga, ya?"
"Iya, mba."
"Bisa bareng ga El. Aku juga telat nih. Harusnya tadi jam 12, tapi adikku sakit jadi baru bisa ditinggal sekarang."
Allah....betapa skenario Allah begitu menakjubkan.
"Jadi mba, adik mba sakit biar mba telat ke stasiun karena mba suruh nemenin aku biar ga pergi berdua sama mas Fulan."
"Oh ya? Aku malah mikir, El disuruh telat sama Allah biar aku ga berangkat sendiri dalam safar ini."
Kami pun tertawa.
Begitulah cara Allah menjaga hamba-Nya. Maka semoga kita selalu bersyukur dengan berusaha menjaga diri kita.
Wallahu a'alam. Baarokallahufiikum.
Komentar
Posting Komentar