Sebuah inspirasi yang didapat dari Santri Writer Summit 2017, Pusat
Studi Jepang UI, Depok yang diselenggarakan oleh santrinulis.
Selarik hikmah yang saya dapatkan dari Habiburrahman El-Shirazy sebagai salah satu pembicara.
Sejarah para ulama tidak pernah lepas dari sejarah literasi. itu sebab kita banyak menemukan karya-karya para ulama terdahulu yang masih abadi karyanya meski orangnya hidup berabad-abad sebelum kita. Sebutlah ada Imam Suyuthi dengan 600 judul yang tiap judulnya banyak yang berjilid-jilid yang kalau kamu disuruh untuk menyalin karya-karyanya tersebut, maka kamu membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Kita mengenal Imam Thobari yang terkenal dengan tafsir thabarinya. Karya-karyanya yang sampai ke kita baru separuhnya, sebagian hilang. Ada 500 karya beliau yang diketahui.
Selain beliau-beliau ini, ada banyak sekali ulama yang jumlah karya-karyanya melebihi angka usia mereka.
Selintas saya berpikir apa rahasia yang mampu membuat mereka begitu banyak menghasilkan karya yang bahkan karya-karyanya memberikan begitu banyak sumbangan terhadap khazanah keilmuan orang-orang setelahnya bahkan hingga sekarang.
Ada beberapa jawaban yang diberikan oleh Kang Abik yaitu seputar etika menulis.
Pertama, para ulama kita sangat memahami bahwa membaca dan menulis adalah amanah Allah yang termaktub dalam Al Qur’an.
Membaca dan menulis adalah satu paket perintah yang terdapat dalam QS. Al Alaq ayat 1-5. Tiga ayat pertama adalah tentang perintah membaca dan 2 ayat terakhir dari wahyu pertama itu adalah perintah untuk menulis dan berkarya.
Alladzii ‘allama bil qolam
‘Allamal insaana maa lam ya’lam.
Qolam. Kalau kita cari terjemahan Qolam dari Kamus Arab-Indonesia, maka arti Qolam hanya sekedar pena. Tetapi para mufassir sepakat, bahwa Qolam adalah Al Qiraatu wa Kitaabatu. Qolam adalah membaca dan menulis.
Para Ulama memahami betul bahwa menulis dan membaca adalah dua hal yang sangat dahsyat memberikan pengaruh bagi bangsa yang beradab.
Dapat ditarik kesimpulan, mereka memahami bahwa menulis adalah sebuah jalan ibadah.
Kedua, Para Ulama sangat menghargai waktu.
Kalau kita perhatikan, hampir semua ibadah dalam Islam, terkait dengan waktu: shalat, puasa, zakat, haji, bertamu, hutang-piutang, dan sebagainya. Oleh sebab itu, semestinya umat Islam adalah umat yang paling paham tentang waktu-waktunya, paling bisa menghargai waktu, dan memanfaatkannya dengan baik.
Maka salah satu modal utama bagi kamu yang ingin jadi penulis produktif adalah menghargai waktu
Sampai sini, saya yang cuma pernah nyantri tak berapa lama ini dikenalkan dengan ulama yang ketika tamu datang, tapi masih menyempatkan untuk menulis. Ada ulama yang jatuh saat berjalan karena membaca kemudian wafat. Ada ulama yang disaat sakitnya yang parah dan menjelang wafat masih berdiskusi tentang ilmu. Ada ulama yang ketika anaknya meninggal dan pemakaman, tidak hadir dan lebih memilih untuk belajar kepada gurunya karena menganggap memakamkan anaknya adalah fardhu kifayah sedangkan belajar adalah wajib(yang kalau ia tidak hadir di majelis ilmu itu,akan ada bab terlewat dan urusannya adalah dengan kaum muslimin yan membutuhkan jawabannya). Ada ulama yang sebelum menghadiri undangan mensyaratkan dirinya untuk merampungkan tulisan.
Saya jleb sendiri mendengarnya. Kita jauh sekali dari mereka. Teramat jauh, tapi setidaknya kita bisa meneladani semangat itu semampu kita. Mastatho’tum!
Ketiga, Ulama dahulu menjadikan menulis sebagai amal jariyah. Amal yang pahalanya akan mengalir selama karya-karyanya dibaca orang lalu apa yang ditulisnya bisa diamalkan.
Nah, karena itulah wajib bagi penulis muslim untuk menulskan hal-hal yang baik dan tidak bertentangan dengan syariah.
Keempat, Para Ulama sangat rendah hati.
Mekipun kapasitas keilmuan mereka sudah tinggi, meskipun karya-karya mereka sudah ratusan judul, mereka tetap down to earth dan memahami betul bahwa semua itu adalah karena Allah yang memberikan.
Maasya Allah. Dengan gaya khas Kang Abik yang rendah hati, teduh, dan lembut itu sebenarnya saya rela sekali mendengarkan sampai kapanpun beliau menyampaikan ilmunya, dan menunggu apa lagi yang akan beliau sampaikan, sayangnya waktunya hanya sebentar. Meski begitu ada hal yang menggerakkan dan memicu kembali semangat untuk berkarya dan menggandakan kebaikan-kebaikan.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 30 Oktober 2017
Selarik hikmah yang saya dapatkan dari Habiburrahman El-Shirazy sebagai salah satu pembicara.
Sejarah para ulama tidak pernah lepas dari sejarah literasi. itu sebab kita banyak menemukan karya-karya para ulama terdahulu yang masih abadi karyanya meski orangnya hidup berabad-abad sebelum kita. Sebutlah ada Imam Suyuthi dengan 600 judul yang tiap judulnya banyak yang berjilid-jilid yang kalau kamu disuruh untuk menyalin karya-karyanya tersebut, maka kamu membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Kita mengenal Imam Thobari yang terkenal dengan tafsir thabarinya. Karya-karyanya yang sampai ke kita baru separuhnya, sebagian hilang. Ada 500 karya beliau yang diketahui.
Selain beliau-beliau ini, ada banyak sekali ulama yang jumlah karya-karyanya melebihi angka usia mereka.
Selintas saya berpikir apa rahasia yang mampu membuat mereka begitu banyak menghasilkan karya yang bahkan karya-karyanya memberikan begitu banyak sumbangan terhadap khazanah keilmuan orang-orang setelahnya bahkan hingga sekarang.
Ada beberapa jawaban yang diberikan oleh Kang Abik yaitu seputar etika menulis.
Pertama, para ulama kita sangat memahami bahwa membaca dan menulis adalah amanah Allah yang termaktub dalam Al Qur’an.
Membaca dan menulis adalah satu paket perintah yang terdapat dalam QS. Al Alaq ayat 1-5. Tiga ayat pertama adalah tentang perintah membaca dan 2 ayat terakhir dari wahyu pertama itu adalah perintah untuk menulis dan berkarya.
Alladzii ‘allama bil qolam
‘Allamal insaana maa lam ya’lam.
Qolam. Kalau kita cari terjemahan Qolam dari Kamus Arab-Indonesia, maka arti Qolam hanya sekedar pena. Tetapi para mufassir sepakat, bahwa Qolam adalah Al Qiraatu wa Kitaabatu. Qolam adalah membaca dan menulis.
Para Ulama memahami betul bahwa menulis dan membaca adalah dua hal yang sangat dahsyat memberikan pengaruh bagi bangsa yang beradab.
Dapat ditarik kesimpulan, mereka memahami bahwa menulis adalah sebuah jalan ibadah.
Kedua, Para Ulama sangat menghargai waktu.
Kalau kita perhatikan, hampir semua ibadah dalam Islam, terkait dengan waktu: shalat, puasa, zakat, haji, bertamu, hutang-piutang, dan sebagainya. Oleh sebab itu, semestinya umat Islam adalah umat yang paling paham tentang waktu-waktunya, paling bisa menghargai waktu, dan memanfaatkannya dengan baik.
Maka salah satu modal utama bagi kamu yang ingin jadi penulis produktif adalah menghargai waktu
Sampai sini, saya yang cuma pernah nyantri tak berapa lama ini dikenalkan dengan ulama yang ketika tamu datang, tapi masih menyempatkan untuk menulis. Ada ulama yang jatuh saat berjalan karena membaca kemudian wafat. Ada ulama yang disaat sakitnya yang parah dan menjelang wafat masih berdiskusi tentang ilmu. Ada ulama yang ketika anaknya meninggal dan pemakaman, tidak hadir dan lebih memilih untuk belajar kepada gurunya karena menganggap memakamkan anaknya adalah fardhu kifayah sedangkan belajar adalah wajib(yang kalau ia tidak hadir di majelis ilmu itu,akan ada bab terlewat dan urusannya adalah dengan kaum muslimin yan membutuhkan jawabannya). Ada ulama yang sebelum menghadiri undangan mensyaratkan dirinya untuk merampungkan tulisan.
Saya jleb sendiri mendengarnya. Kita jauh sekali dari mereka. Teramat jauh, tapi setidaknya kita bisa meneladani semangat itu semampu kita. Mastatho’tum!
Ketiga, Ulama dahulu menjadikan menulis sebagai amal jariyah. Amal yang pahalanya akan mengalir selama karya-karyanya dibaca orang lalu apa yang ditulisnya bisa diamalkan.
Nah, karena itulah wajib bagi penulis muslim untuk menulskan hal-hal yang baik dan tidak bertentangan dengan syariah.
Keempat, Para Ulama sangat rendah hati.
Mekipun kapasitas keilmuan mereka sudah tinggi, meskipun karya-karya mereka sudah ratusan judul, mereka tetap down to earth dan memahami betul bahwa semua itu adalah karena Allah yang memberikan.
Maasya Allah. Dengan gaya khas Kang Abik yang rendah hati, teduh, dan lembut itu sebenarnya saya rela sekali mendengarkan sampai kapanpun beliau menyampaikan ilmunya, dan menunggu apa lagi yang akan beliau sampaikan, sayangnya waktunya hanya sebentar. Meski begitu ada hal yang menggerakkan dan memicu kembali semangat untuk berkarya dan menggandakan kebaikan-kebaikan.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 30 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar