“Aku mengagumi seorang ikhwan.” Ia memulai ceritanya. Cerita
masing-masing mereka yang cerita itu menjadi salah satu faktor mengapa
mereka di sini.
“Sejak kelas 1 SMA dan saat itu Ia kelas 3 SMA” ia tersenyum. “Kami tidak satu sekolah, tapi beberapa kali bertemu dalam agenda organisasi. Tepatnya, Ia seniorku.”
“Ia sangat menjaga. Apalagi? Aku pun tidak tahu perasaan itu betah sekali berlama-lama hidup sampai aku menjelma sebagai seorang mahasiswa semester 7. Cukup lama, bukan?”
“Aku tidak pernah punya cukup keberanian untuk mengatakannya? Hanya saja aku sering memintanya kepada Allah. Ya, sejak perasaan itu muncul, aku selalu berharap kepada Allah bahwa kelak kami bisa berjodoh.” Ia tertawa.
“Semester kemarin, aku merasa tidak bisa berlama-lama dengan perasaan ku ini. Dengan angan-angan yang entah. Aku sendiri pun tak tahu bagaimana perasaannya.”
“Maka, agar perasaan itu tidak semakin jauh, untuk mengetahui bagaimana perasaannya, aku mengiriminya sebuah surat elektronik.”
Temannya tak percaya.
“Kamu tau berapa lama proses menulisnya? 3,5 bulan, persis seperti aku merapungkan novel pertamaku yang selesai dalam kurun waktu segitu.” ia tertawa lagi.
“Suratnya sebenarnya singkat saja. Tapi proses menguatkan hatiku ini yang lama. Sampai harus istikhoroh berkali-kali apakah surat itu harus aku kirim.”
“Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengirimnya. Kamis malam ketika itu.” ia tersenyum tipis.
“Aku tidak tahu apakah ini lebay atau tidak. Tapi setelah itu, aku memohon kepada Allah untuk memberi jawaban yang terbaik menurutNya. “Ya Allah terserah Engkau saja. Yang terbaik menurutmu saja. Sebab Engkau tahu yang terbaik.” Selalu itu yang kulirihkan. Iya kan? Memang kita ini siapa? “
“Hari-hari menunggu jawaban aku menguatkan hatiku. Sejujurnya, aku takut dengan balasannya.”
“Sehari setelahnya, ada email masuk. Dari dia. Aku semakin deg-degan waktu itu.”
“Ketika aku buka, kamu mau tau balasannya? Ia bilang, terima kasih, ia bilang tentu memerlukan waktu berbulan-bulan untuk saya memiliki keberanian menulis surat ini, ia bilang tulisan-tulisanku bagus…” dia menghentikan ceritanya. Matanya mulai berkaca-kaca, “ia juga bilang, bahwa ia sedang ‘proses’ dengan seoran akhwat dan ia bilang semoga aku mendapatkan seseorang yang lebih baik” ia menangis. Temannya memeluknya.
“Enam tahun. Dan perasaan 6 tahun itu puncaknya adalah hari itu. Hari itu juga aku sadar bahwa aku hanya berharap yang tidak pasti. Aku sadar bahwa ekspetasiku mungkin terlalu berlebihan, tapi apa aku berlebihan ketika aku menginginkan seorang pendamping hidup yang selama ini aku melihatnya bahwa ia adalah seorang yang baik?”
“Allahu Rabb. Tapi aku langsung sujud syukur saat itu. Aku bersimpuh sama Allah. Barangkali ini adalah cara Allah menyadarkanku bahwa cukup Allah saja satu-satunya tempat berharap. Dan bukankah ketika mengirim surat itu aku bilang kepad Allah bahwa apapun jawabannya aku tahu bahwa itu adalah yang terbaik menurut Allah..”
“Malam itu, jujur aku nangis semalaman. Rasanya seperti sedang bermain di sebuah taman bunga, tiba-tiba ada badai yang meluluhlantakkan semuanya.”
“Ia baik, Ta. Tapi aku tau Allah jauh lebih baik. Asma wa sifat nya juga takdir-takdirnya.”
“Ia baik, Ta. Ia menjaga. Bahkan sampai saat ini aku kadang masih mengingatnya.”
“Sekarang aku di sini, Ta. Aku tau, Ta, Allah punya rencana yang jauh lebih indah dari rencanaku.
“Sejak kelas 1 SMA dan saat itu Ia kelas 3 SMA” ia tersenyum. “Kami tidak satu sekolah, tapi beberapa kali bertemu dalam agenda organisasi. Tepatnya, Ia seniorku.”
“Ia sangat menjaga. Apalagi? Aku pun tidak tahu perasaan itu betah sekali berlama-lama hidup sampai aku menjelma sebagai seorang mahasiswa semester 7. Cukup lama, bukan?”
“Aku tidak pernah punya cukup keberanian untuk mengatakannya? Hanya saja aku sering memintanya kepada Allah. Ya, sejak perasaan itu muncul, aku selalu berharap kepada Allah bahwa kelak kami bisa berjodoh.” Ia tertawa.
“Semester kemarin, aku merasa tidak bisa berlama-lama dengan perasaan ku ini. Dengan angan-angan yang entah. Aku sendiri pun tak tahu bagaimana perasaannya.”
“Maka, agar perasaan itu tidak semakin jauh, untuk mengetahui bagaimana perasaannya, aku mengiriminya sebuah surat elektronik.”
Temannya tak percaya.
“Kamu tau berapa lama proses menulisnya? 3,5 bulan, persis seperti aku merapungkan novel pertamaku yang selesai dalam kurun waktu segitu.” ia tertawa lagi.
“Suratnya sebenarnya singkat saja. Tapi proses menguatkan hatiku ini yang lama. Sampai harus istikhoroh berkali-kali apakah surat itu harus aku kirim.”
“Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengirimnya. Kamis malam ketika itu.” ia tersenyum tipis.
“Aku tidak tahu apakah ini lebay atau tidak. Tapi setelah itu, aku memohon kepada Allah untuk memberi jawaban yang terbaik menurutNya. “Ya Allah terserah Engkau saja. Yang terbaik menurutmu saja. Sebab Engkau tahu yang terbaik.” Selalu itu yang kulirihkan. Iya kan? Memang kita ini siapa? “
“Hari-hari menunggu jawaban aku menguatkan hatiku. Sejujurnya, aku takut dengan balasannya.”
“Sehari setelahnya, ada email masuk. Dari dia. Aku semakin deg-degan waktu itu.”
“Ketika aku buka, kamu mau tau balasannya? Ia bilang, terima kasih, ia bilang tentu memerlukan waktu berbulan-bulan untuk saya memiliki keberanian menulis surat ini, ia bilang tulisan-tulisanku bagus…” dia menghentikan ceritanya. Matanya mulai berkaca-kaca, “ia juga bilang, bahwa ia sedang ‘proses’ dengan seoran akhwat dan ia bilang semoga aku mendapatkan seseorang yang lebih baik” ia menangis. Temannya memeluknya.
“Enam tahun. Dan perasaan 6 tahun itu puncaknya adalah hari itu. Hari itu juga aku sadar bahwa aku hanya berharap yang tidak pasti. Aku sadar bahwa ekspetasiku mungkin terlalu berlebihan, tapi apa aku berlebihan ketika aku menginginkan seorang pendamping hidup yang selama ini aku melihatnya bahwa ia adalah seorang yang baik?”
“Allahu Rabb. Tapi aku langsung sujud syukur saat itu. Aku bersimpuh sama Allah. Barangkali ini adalah cara Allah menyadarkanku bahwa cukup Allah saja satu-satunya tempat berharap. Dan bukankah ketika mengirim surat itu aku bilang kepad Allah bahwa apapun jawabannya aku tahu bahwa itu adalah yang terbaik menurut Allah..”
“Malam itu, jujur aku nangis semalaman. Rasanya seperti sedang bermain di sebuah taman bunga, tiba-tiba ada badai yang meluluhlantakkan semuanya.”
“Ia baik, Ta. Tapi aku tau Allah jauh lebih baik. Asma wa sifat nya juga takdir-takdirnya.”
“Ia baik, Ta. Ia menjaga. Bahkan sampai saat ini aku kadang masih mengingatnya.”
“Sekarang aku di sini, Ta. Aku tau, Ta, Allah punya rencana yang jauh lebih indah dari rencanaku.
Komentar
Posting Komentar