Upacara bendera hari senin di SMA Karakter seperti biasa, diakhiri dengan pengumuman-pengumuman
yang sekolah ikuti selama minggu itu. Dan seperti biasa pula, yang menjadi
langganan juara adalah Haura, anak kelas XI IS 1 yang gak cantik tapi juga gak
jelek-jelek amat, yang gak cantik, bahkan dengan kekurangan fisiknya tapi jadi
kejaran cowok-cowok walaupun gak ada satupun yang bisa mendapatkannya, cewek berjilbab
yang istirahat pertama adanya di masjid, istirahat keduapun bisa ditemui di
masjid. Cewek kebanggaan guru-guru yang punya seabrek kegiatan, dari mulai
ROHIS, OSIS, Language Club, sampe Jurnalistik. Belum lagi organisasi eksternal
yang digelutinya.
Azza tak bisa membayangkan bagaimana
Haura membagi waktunya. Teringat dia waktu SMP sering ketemu Haura di
acara-acara yang diadakan anak-anak SMA Jakarta. Jam 9 sampai zuhur dia melihat
Haura datang di acara seminar keputrian di SMA Bintang daerah Jakarta Selatan,
pada hari yang sama jam 1 sampai ashar ketika Azza hadir di di acara Diskusi
Pelajar Bermoral di daerah Serpong, lagi-lagi dia melihat Haura. Takjub. Of
course. Secara dia aja yang Cuma ikut satu organisasi dan satu ekskul di sekolahnya
udah kelabakan membagi waktunya, lha ini ada cewek super yang disamping sibuk
dengan organisasinya, tapi bisa membuktikan bahwa organisasinya itu tidak
mengganggu sekolahnya. Dan ini dibuktikan dengan prestasinya di kelas. Siapapun
tak bisa meraih gelar sebagai juara umum di SMA Karakter dengan nilai yang
sungguh mengagumkan selain Haura.
Azza masih terpesona dengan
pemandangan di depan lapangan. Riuh tepuk tangan para siswa memberi aplaus
kepada Haura yang tersenyum penuh kerendah hatiannya. Dulu…dia memimpikan momen
seperti itu terjadi dalam dirinya.
“ Hei, kenapa kau masih berdiri
disini?” sebuah suara merdu menyadarkan Azza dari lamunannya.
“ Ah, kamu, Ra,” ternyata Haura, “Yok,
masuk kelas!” Azza menggandeng tangan Haura yang masih bertanya-tanya.
Meski bingung, dia tak mau bertanya
lebih lanjut kepada Azza, karena biasanya tanpa diminta.
***
“ HAAHHHH????!!! Jadi kamu ngajak
aku ngajar anak-anak disini?? Di tempat gembel kayak gini???isshhhh….gue sih
ooooo…..”
“ Suuuttttssss….”sebelum Azza
meneruskan kata-katanya, Haura menutup mulut Azza dengan buku di tangannya, “
kalau bicara dijaga dong, Za!” bisiknya sambil melirik kea rah anak-anak
pemulung yang juga sedang berbisik-bisik.
Haura lalu menarik paksa tangan Azza
menjauh dari anak-anak.
“ uhhh…lepasin, Ra!” Azza meringis
kesakitan menahan kuatnya tangan Haura.
Haura melepas tangan Azza.
“ Zhalim kamu…” Azza meniup-niup
tangannya yang merah bekas tarikan Haura.
“ Lebih zhalim mana sama mulut
kamu?”
Mendengar pertanyaan tegas dibarengi
dengan tatapan tajam Haura, Azza menunduk, “ ya maap deh…” sesalnya.
“ Aku kecewa..” Haura jongkok.
Dagunya ditopangnya hanya dengan satu tangannya.
Azza yang merasa bersalah ikut
jongkok. Tak peduli meski di sekelilingnya banyak sampah menumpuk. Ia Mengamati
perubahan wajah Haura yang menyimpan kesedihan.
“ Kemarin aku senang melihat
antusias dengan ceritaku tentang mereka. Kemarin aku sungguh-sungguh berjanji
akan membantu kamu supaya bisa seperti
aku, kemarin aku berharap akan ada yang membantuku disini, di tempat ini,”
Haura memulai dengan nada yang sedih.
Azza menunduk. Ya, kemarin dia
menceritakan keinginannya untuk bisa seperti Haura. Tak hanya berbuat baik
untuk dirinya, tapi juga berbuat baik untuk orang-orang di sekitarnya.
“ Tapi mungkin aku salah...”
lanjutnya lirih, “Ini bukan duniamu. Duniamu di kafe kan, Za? Bersama
teman-temanmu yang kece-kece itu. Dunia mu di mall, dengan segala aksesoris
mewah yang kalian punya, dan tentu saja sekarang kau merasa tak pantas berada
disini. Ibarat aib bagimu,”
Azza tak bisa berkata apa-apa. Entah
kenapa ada yang menohok di hatinya mendengar kata-kata Haura yang baginya itu
sebuah sindiran.
“ Tapi, disinilah pertama kali aku
mendapatkan apa yang ku inginkan selama ini. Bukan popularitas dan materi
semata, tapi lebih dari itu. Berbagi dengan mereka. Mereka yang sejatinya harus
mendapatkan hak yang sama, yaitu Pendidikan yang benar. Mereka yang sejatinya adalah
warga sah Negara Indonesia tapi justru seperti orang buangan di negeri
sendiri,” ceritanya dengan tatapan sendu.
“ Sejak menyadari itu, aku sadar
bahwa kalaulah memang tak ada yang peduli dengan mereka, biar aku yang
mempedulikannya. Aku tak bisa menunggu pemerintah yang mempedulikan mereka,
karena itu artinya akan membuat mereka tidak baik dan rendah moral,”
Azza tak mengerti apa yang Haura
katakana.
“ Kau tau? Bahwa akibat kemiskinan
yang menderita mereka, ditambah pendidikan agama yang tidak mereka dapatkan,
membuat mereka menjadi daftar pelaku criminal. Jika ini dibiarkan, itu artinya
kita menciptakan generasi criminal.”
Azza mengangguk-angguk mulai mengerti.
“ Maka dari itulah aku memutuskan
disini. Berbagi ilmu dengan mereka, terlebih ilmu agama. Karena Aku hanya ingin
mereka tahu, bahwa zaman akan semakin sulit. Di saat teknologi menjadi sesuatu
yang dipuja, disaat nanti orang-orang
sekitar mereka lebih mengedepankan ilmu pengetahuan dan menyampingkan
nilai-nilai keagamaan dan moralitas, mereka harus tetap berpegang teguh dengan
nilai-nilai keagamaan. Di saat dunia telah suram dengan kebejatan-kebejatan,
dengan tingkah manusia yang jauh dari nilai kemanusiaan, aku ingin mereka hadir
mewarnai dunia dengan kebaikan-kebaikan mereka, dengan kebenaran-kebenaran yang
mereka bawa. Setidaknya, meski mereka tak punya apa-apa, tapi mereka harus
punya akidah yang bersih, kalau akidah sudah bersih dan lurus, apapun akan
mereka dapatkan,”
“ Kau tentu tau dengan ayat yang
mengatakan bahwa sesungguhnya jika kamu menolong agama Allah,pasti Allah akan
menolongnya. Dan, janjinya itu benar Dia buktikan,” Haura menatap langit biru,
“ Dia yang memberiku kekuatan untuk bisa menjalani hari-hariku dengan prestasi-prestasi
ku selama ini.”
“ Bagaimana denganmu, Za?” Haura
menengok kea rah Azza yang sedang menunduk, “ itu pilihanmu. Kau mau menjadi
muslimah yang biasa-biasa saja, atau muslimah tangguh yang dari rahim, tangan,
dan hatinya akan lahir manusia-manusia tangguh. Tangguh jasmani, maupun
ruhnya.” Setelah berkata demikian Haura pergi meninggalkan Azza yang termenung.
Dia mengangkat wajahnya. Ya, Setangguh Al Khansa menyerahkan keempat
anaknya untuk berjihad. Setangguh jiwa Haura yang tetap tunduk dan tawadhu
dengan amalnya padahal bisa saja dia menyombongkan diri. Setangguh Haura yang benar-benar bersyukur dengan
potensi yang diberikan Allah, dengan cara memaksimalkan energinya untuk hal-hal
yang positif. Setangguh Haura yang selalu ingin berbagi. Secerdas Haura yang
memahami, bahwa wanita lah yang menentukan sebuah generasi menjadi baik,
ataupun tidak. Dan setangguh Haura, yang meski tangan kirinya hanya sampai
siku, tapi mampu merengkuh dunia dengan satu tangan dan hatinya. Dunianya,
dunia keluarganya, dunia teman-temannya, dan dunia anak-anak pemulung itu.
Dan kini, Azza telah
memutuskan pilihannya. Kelak, saat seluruh tubuh kita gak berfungsi semuanya,
saat Allah menakdirkan bahwa hidup kita hanya sampai saat ini, maka saat itulah
kita akan tersenyum bahagia meninggalkan semuanya dan telah menorehkan sejarah
hidup kita dengan tinta emas kebaikan dan kebenaran. Kata-kata Haura duluuu
sekali, masih terngiang di telingan Azza.
Cirendeu,
11 Februari 2012
BIODATA PENULIS
NAMA : Dede
Ela Triana
KELAS : XI
IS
SEKOLAH : SMA
Islam Madinatul Ilmi
ALAMAT : Jl.
Gunung Raya No.3, RT.001/04, Cirendeu Ciputat, TangSel
NO.HP :
088210717434
AKUN FB : Dede
Alkhansa
TWITTER :
@dede_alkhansa
Komentar
Posting Komentar